Bisnis.com, JAKARTA - Peluncuran lembaga Central Counterparty (CCP) untuk derivatif suku bunga dan nilai tukar atau CCP SBNT diyakini dapat menggenjot nilai transaksi pasar uang dan valuta asing ke depannya.
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo menuturkan kenaikan nilai transaksi tersebut seiring dengan berkurangnya risiko transaksi dengan CCP ketimbang melalui skema over the counter yang dilakukan pelaku industri keuangan selama ini.
"Karena sistemnya tersentralisasi dengan close out netting, maka risiko antar pelakunya bisa kita minimalkan," kata Perry dalam acara Peluncuran CCP di Gedung Bank Indonesia, Jakarta pada Senin (30/9/2024).
Seiring dengan hal tersebut, Perry optimistis nilai transaksi akan mengalami kenaikan. Secara terperinci, dia menyebut nilai transaksi domestic non delivery forward (DNDF) dapat mencapai US$1 miliar per hari hingga 2030 mendatang dari catatan saat ini sekitar US$100 juta per hari.
Sementara itu, transaksi repurchase agreement (repo) ditargetkan dapat mencapai Rp30 triliun dalam lima tahun ke depan berbanding dengan pencapaian saat ini sekitar Rp14 triliun. Adapun, repurchase agreement merupakan transaksi jual surat berharga dengan janji beli kembali pada waktu dan harga yang telah ditetapkan.
Sementara itu, DNDF adalah transaksi jual atau beli valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan dalam waktu lebih dari dua hari kerja setelah tanggal transaksi.
Baca Juga
Perry melanjutkan, terbentuknya CCP merupakan bukti bahwa Indonesia mampu melakukan pendalaman pasar uang dan valas derivatif dalam negeri. Dia menuturkan, sejak krisis keuangan global, Indonesia tidak memiliki CCP untuk transaksi suku bunga dan nilai tukar atau CCP SBNT yang bersifat close out netting.
"Pendirian dan pengembangan CCP SBNT ini menjadi legacy (warisan) kita dalam upaya pendalaman pasar keuangan negara," jelas Perry.
Dalam pembentukan CCP, Perry mengatakan BI telah menggandeng PT Bursa Efek Indonesia (BEI), PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI), serta 8 bank yaitu Bank Mandiri, BRI, BNI, BCA, CIMB Niaga, Danamon, Maybank, dan Permata dalam CCP ini.
Perry menuturkan, sebanyak 80% kepemilikan CCP akan dipegang oleh KPEI dan 8 bank tersebut, sementara 20% sisanya dimiliki BI selaku regulator. Meski demikian, Perry menegaskan bank Sentral tidak akan turut terlibat dalam pengaturan manajemen bisnis CCP tersebut.
"(Kepemilikan) 20% ini laiknya seperti support dari kami agar industri ini bisa berkembang ke depannya. Kami tidak Ada niatan untuk mencampuri atau ikut serta dalam proses bisnisnya," jelas Perry.
Adapun, CCP adalah Infrastruktur Pasar Keuangan (IPK) bersifat sistemik yang menjalankan fungsi kliring dalam transaksi pasar uang dan pasar valuta asing (PUVA).
CCP menempatkan dirinya di antara para pihak yang melakukan transaksi untuk mitigasi risiko kegagalan transaksi antar pihak (counterparty risk), risiko likuiditas (liquidity risk), dan risiko karena volatilitas harga pasar (market risk).
CCP merupakan pihak di tengah (central) yang menjadi lawan transaksi bagi semua pelaku transaksi atau anggotanya. CCP bertindak sebagai penjual bagi seluruh pembeli, dan menjadi pembeli bagi seluruh penjual, sehingga menurunkan risiko kredit pihak lawan.
Selain itu, CCP melakukan penjaminan atas penyelesaian transaksi pelaku pasar (anggota), menerapkan pengelolaan jaminan yang aman untuk melindungi kepentingan anggota dan dirinya.
Selanjutnya, CCP melakukan kliring dan penyelesaian transaksi dengan perhitungan bersih untuk seluruh pelaku pasar anggota CCP (multilateral netting). Hal ini akan meningkatkan efisiensi dengan menurunkan kebutuhan likuiditas anggotanya sehingga mendorong peningkatan transaksi di pasar.
Perry menambahkan, pembentukan CCP merupakan amanat UU No 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), serta amanat Financial Stability Board G20 kepada para anggotanya.
Dalam pembentukan CCP, Perry mengatakan BI telah menggandeng PT Bursa Efek Indonesia (BEI), PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI), serta 8 bank yaitu Bank Mandiri, BRI, BNI, BCA, CIMB Niaga, Danamon, Maybank, dan Permata dalam CCP ini.
Perry menuturkan, sebanyak 80% kepemilikan CCP akan dipegang oleh KPEI dan 8 bank tersebut, sementara 20% sisanya dimiliki BI selaku regulator. Meski demikian, Perry menegaskan bank Sentral tidak akan turut terlibat dalam pengaturan manajemen bisnis CCP tersebut.
"(Kepemilikan) 20% ini laiknya seperti support dari kami agar industri ini bisa berkembang ke depannya. Kami tidak Ada niatan untuk mencampuri atau ikut serta dalam proses bisnisnya," jelas Perry.