Bisnis.com, JAKARTA — Penguatan rupiah hingga 50% ke level Rp8.170 per dolar AS yang sempat beredar dalam laman pencarian Google pada Sabtu (1/2/2025), akan menyebabkan tekanan ekonomi inflasi maupun suku bunga BI Rate jika terjadi dalam waktu singkat.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede menyebutkan bahwa penguatan nilai tukar rupiah yang signifikan dapat memiliki dampak yang cenderung menekan inflasi di Indonesia.
Josua menjelaskan, ketika rupiah menguat, biaya untuk mengimpor barang menjadi lebih murah karena nilai rupiah lebih tinggi terhadap mata uang asing sehingga harga barang impor seperti bahan baku, mesin, dan produk konsumsi akan turun.
“Hal ini dapat diteruskan kepada konsumen dalam bentuk harga yang lebih rendah, sehingga menekan inflasi,” tuturnya, dikutip pada Senin (3/2/2025).
Terlebih, bagi industri yang bergantung pada bahan baku impor, penguatan nilai tukar rupiah akan menurunkan biaya produksi dan membuat inflasi inti stabil.
Baca Juga
Sejalan dengan potensi penurunan inflasi inti, maka inflasi umum pun juga diperkirakan akan cenderung terkendali di level yang rendah.
Di sis lain, Bank Indonesia (BI) berpotensi merespons penguatan rupiah dengan menurunkan suku bunga acuan BI Rate untuk mencegah penguatan nilai tukar tambahan lebih lanjut yang bisa merugikan ekspor.
Pasalnya, suku bunga yang lebih rendah dapat merangsang investasi dan konsumsi, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi inflasi.
Minat investor asing pun diperkirakan akan melonjak karena imbal hasil yang ditawarkan akan lebih tinggi ketika diukur dalam mata uang asing. Pada akhirnya, hal ini dapat meningkatkan likuiditas di pasar domestik.
Jika benar terjadi penguatan rupiah, Josua juga melihat ekspektasi akan direvisi ke bawah serta dapat mempengaruhi keputusan upah dan harga, sehingga menciptakan lingkaran umpan balik yang menekan inflasi lebih lanjut.
“Dengan rupiah yang lebih kuat, daya beli masyarakat terhadap barang impor dan barang yang mengandung komponen impor tinggi akan meningkat. Ini dapat meningkatkan konsumsi domestik, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi inflasi jika permintaan melebihi pasokan,” tuturnya.
Dalam jangka panjang, penguatan rupiah yang stabil dapat menciptakan lingkungan ekonomi yang lebih stabil, mengurangi ketidakpastian, dan mendorong investasi jangka panjang yang pada akhirnya menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Meski demikian dapat menekan inflasi, dampak penguatan rupiah yang signifikan tidak selalu seragam dan dapat bervariasi tergantung pada sektor ekonomi, kebijakan moneter, dan faktor eksternal lainnya.
Rupiah Mendadak Menguat
Menurut pantauan Bisnis, rupiah mendadak ditampilkan menguat sekitar 50% berdasarkan penelusuran saat melakukan pengecekkan konversi nilai tukar dolar ke rupiah dengan menggunakan kata kunci “USD to IDR”.
Padahal, apabila melakukan hasil pengecekan di laman resmi Bank Indonesia, kurs jual adalah Rp16.340,30 per US$1 dan Rp16.177,70 untuk kurs beli.
Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso menuturkan bahwa level nilai tukar di angka yang tercatat di Google bukan merupakan level yang seharusnya.
“Data Bank Indonesia mencatat Kurs Rp16.312 per dolar AS pada 31 Januari 2025. Kami sedang berkoordinasi dengan pihak Google Indonesia terkait ketidaksesuaian tersebut untuk segera dapat melakukan koreksi yang diperlukan,” tandasnya melalui keterangannya, Sabtu (1/2/2025).
Sementara perwakilan dari Google menyebut memang terjadi permasalan informasi adanya penguatan mata uang Rupiah secara mendadak sehingga saat ini pihaknya akan memperbaiki kesalah tersebut secara segera.
“Kami menyadari adanya masalah yang mempengaruhi informasi nilai tukar Rupiah [IDR] di Google Search. Data konversi mata uang berasal dari sumber pihak ketiga. Ketika kami mengetahui ketidakakuratan, kami menghubungi penyedia data untuk memperbaiki kesalahan secepat mungkin,” ujar pihak Google yang meminta identitasnya tidak ditampilkan kepada Bisnis, Sabtu (1/2/2025).
Rupiah Pernah Menguat Signifikan
Bukan tidak mungkin, rupiah nyatanya pernah menguat secara signifikan pada 1999 ketika B.J Habibie menduduki kursi RI 1 dan mengendalikan krisis. Pada saat itu pula, dirinya membuat BI menjadi independen.
Pasalnya, saat krisis moneter 1998, nilai tukar rupiah menyentuh Rp16.800 per dolar AS, sangat jauh dari nilai tukar awal Rp2.362 per dolar AS.
Habibie pun berhasil menjinakkan rupiah ke level Rp11.200 per dolar AS pada 20 Mei 1998, lalu menguat lagi menjadi Rp7.385 per dolar AS, pada 20 Oktober 1999. Rupiah akhirnya menyentuh level terkuat sebedar Rp6.550 per dolar AS pada 28 Juni 1999.
Sementara melihat catatan Badan Pusat Statistik (BPS) terkait data historis kurs tengah rupiah terhadap dolar AS di Jakarta sepanjang 2000-2024, setidaknya tiga kali rupiah mencapai level Rp8.000an per dolar AS.
Pertama, pada 2002 saat itu kurs tengah rupiah terhadap dolar AS seniali Rp8.940. Kemudian pada 2003 di level Rp8.465 per dolar AS, dan pada 2010 yang mencapai Rp8.991 per dolar AS.
Sejak saat itu, rupiah tak lagi menunjukkan penguatan ke Rp8.000an dan justru terus menerus melemah hingga saat ini yang telah mencapai Rp16.312 per dolar AS.