Bisnis.com, JAKARTA – BPJS Watch menilai iuran program Jaminan Pensiun (JP) BPJS Ketenagakerjaan akan memiliki multiplier efek kepada penguatan pasar modal di Indonesia. Hal itu dapat berdampak melalui penempatan investasi yang dilakukan BPJS Kesehatan untuk mengelola dana kelolaan program JP.
Untuk itu, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai pemerintah perlu menyesuaikan besaran iuran program JP tersebut dari yang saat ini hanya 3% menjadi 8% sesuai yang diamantkan regulasi.
"Negara sebenarnya itu sangat berkepentingan. Karena apa, dengan adanya pengelolaan dana yang lebih banyak, dia kan nanti dialokasikan ke seluruh keuangan negara [sebagai instrumen investasi]," kata Timboel kepada Bisnis, Selasa (25/2/2025).
Timboel menjelaskan kenaikan iuran tersebut akan memastikan ketahanan dana kelolaan JP akan berumur lebih panjang. Di sisi lain, kenaikan tersebut tidak membuat pembayaran manfaat meningkat karena regulasinya sudah mengatur ketetapan besaran manfaat tidak dipengaruhi besaran iuran yang dibayar.
"Dana-dana ini oleh pemerintah itu didorong untuk membeli di Surat Berharga Negara (SBN). Supaya pemerintah itu tidak punya [mengurangi] utang luar negeri, yang berbasis dolar misalnya. Ketahanan ekonomi kita bisa diperkuat," ujar Timboel.
Adapun per September 2024 dana investasi BPJS Ketenagakerjaan mencapai Rp776,76 triliun, tumbuh 13,23% year on year (YoY) dengan yield on investment (yoi) sebesar 6,92%. Sementara itu hasil investasi yang tercatat pada periode tersebut sebesar Rp38,45 triliun.
Baca Juga
Intrumen investasi tersebut sebesar 68% ditempatkan di SBN, kemudian sebesar 20% di bank-bank himbara dan bank pembangunan daerah (BPD), serta sisanya ditempatkan di dalam saham indeks LQ45.
"Alokasinya juga kan tidak hanya beli SBN, dia beli saham di pasar modal. Artinya dapat menggerakkan sektor pasar modal. Kemudian dia misalnya beli di properti, atau beli di penyertaan, pembangun jalan, kan artinya juga akan mendukung. Atau ditaruh di bank, kan juga menggerakkan dana pihak ketiga lebih banyak," jelas Timboel.
Timboel mencontohkan negara-negara ASEAN seperti Malaysia dan Singapura, bahwa di sana dana kelolaan yang didapat dari dana pekerja cukup besar sehingga dapat menopang ekonomi negara.
"Mengapa mereka ekonominya bisa dipompang oleh dana pekerja? Ya karena iurannya itu tinggi," ujarnya.
Berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015, iuran progrm JP saat ini sebesar 3% dari upah per bulan, dengan komposisi 2% ditanggung oleh pemberi kerja dan 1% oleh pekerja. Dengan pembagian ini, Timboel merasa dari pihak pengusaha seharusnya tidak akan keberatan jika iuran program JP BPJS Ketenagakerjaan dinaikkan.
"Kalau kita kan hanya kekhawatiran sama pengusaha, pengusaha bilang tidak mau naik lagi. Disetujui [pemerintah]. Padahal, di situ banyak manfaat yang akan diperoleh oleh pemerintah sendiri. Mengenai nanti kepada pengusaha, itu kan sudah digariskan oleh regulasi PP 45. Kemudian kan juga bukan waktu itu 2015 langsung naik jadi 8%, tapi bertahap. Artinya kan tidak menjadi sesuatu yang menyulitkan pengusaha," pungkasnya.
Sebelumnya, Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Anggoro Eko Cahyo mengatakan pihaknya sedang meminta dukungan payung hukum yang memperbolehkan BPJS Ketenagakerjaan dapat berinvestasi di luar negeri. Menurutnya ini diperlukan untuk menunjang pengembalian investasi dari dana kelolaan agar lebih optimal.
"Saat ini, kita ketahui, instrumen di dalam negeri pertumbuhan pasarnya 3-5%, sementara dana investasi kami tumbuhnya sekitar 13%. Jadi instrumen dalam negeri pada waktu tertentu akan terbatas dan risiko akan semakin besar," kata Anggoro saat RDP Komisi IX DPR RI, Senin (28/10/2024).