Bisnis.com, JAKARTA - Perusahaan asuransi dan dana pensiun (dapen) yang memiliki dana kelolaan jangka panjang berpeluang menjadi pahlawan bursa sebagai market maker dengan membeli saham yang memiliki fundamental kuat.
Pasar saham Indonesia sejak awal 2025 mengalami volatilitas cukup tinggi akibat dinamika suku bunga global, ketegangan geopolitik, serta ketidakpastian arah kebijakan ekonomi domestik. Bahkan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat anjlok hingga 6,12% pada perdagangan sesi I pada 18 Maret 2025. Setelah sempat ditutup hijau pada esok harinya, indeks komposit kembali ditutup di zona merah -3,67% pada penutupan perdagangan pekan ini ke level 6.258,18.
Investment Analyst PT Capital Asset Management Martin Aditya meyakini para pengelola dana jangka panjang seperti dapen mampu mendorong kembali geliat pasar saham setelah amblas. "Untuk saat ini [IHSG turun, kehadiran dapen di pasar saham] justru potensinya besar, terutama pada emiten berkapitalisasi besar a.l. perbankan," kata Martin, Jumat (21/3/2025).
Meski berharap dana pensiun dapat menjadi market maker, pelaku usaha melihat belum saatnya untuk masuk ke pasar saham.
Bambang Sri Muljadi, staf ahli Asosiasi Dana Pensiun Indonesia, menilai dalam situasi saat ini, dana pensiun cenderung menunggu kondisi yang lebih kondusif.
Baca Juga
Hal senada disampaikan oleh salah satu pengelola dapen. Budi Sutrisno, Direktur Utama Dapen BCA, mengatakan bahwa pihaknya menerapkan prinsip kehati-hatian (prudent investing) dalam menjaga stabilitas portofolio jangka panjang, terutama di tengah ketidakpastian pasar global dan tren suku bunga tinggi.
“Dapen senantiasa menerapkan strategi investasi yang berorientasi pada prinsip prudent investing dengan fokus pada stabilitas jangka panjang. Dalam menghadapi gejolak pasar saham yang meningkat sejak awal tahun ini, perlu dilakukan penyesuaian yang cermat pada portofolio investasinya,” kata Budi kepada Bisnis pada Jumat (21/3/2025).
Dalam menghadapi kondisi pasar yang fluktuatif, lanjut Budi, Dapen BCA melakukan rebalancing portofolio secara rutin. Langkah tersebut termasuk pengurangan eksposur pada saham dengan volatilitas tinggi dan pengalihan dana ke instrumen yang lebih stabil seperti obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN), obligasi korporasi berperingkat tinggi, dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebagai instrumen jangka pendek.
Selain itu, Dapen BCA juga mengalihkan fokus investasinya ke saham-saham berkapitalisasi besar (blue chip) yang dinilai memiliki fundamental kuat dan potensi dividen stabil. Pendekatan ini diambil untuk meminimalkan dampak dari fluktuasi pasar.
Budi mengatakan instrumen dengan imbal hasil stabil seperti deposito juga menjadi bagian dari strategi Dapen BCA guna menjaga likuiditas. Sementara itu, SBN dengan tenor menengah hingga panjang dipilih untuk menghadapi suku bunga tinggi, dengan tetap memperhatikan pencocokan aset dan liabilitas.
Dalam menghadapi volatilitas yang meningkat, Budi mengatakan pihaknya menerapkan pendekatan manajemen risiko yang disiplin dengan cara rebalancing portofolio di mana pihaknya rutin melakukan evaluasi portofolio untuk menyesuaikan komposisi aset guna menjaga keseimbangan antara risiko dan potensi imbal hasil.
Kemudian, lanjut dia, ketika pasar saham mengalami koreksi tajam, pihaknya akan memanfaatkan peluang untuk masuk ke saham yang memiliki valuasi menarik namun tetap berfundamental baik.
Di tengah kondisi pasar yang tidak stabil, lanjut Budi, Dapen BCA juga mengedepankan prinsip diversifikasi yang terukur, dengan alokasi ke berbagai instrumen pendapatan tetap yang menawarkan arus kas stabil dan risiko rendah.
“Dalam menghadapi ketidakpastian pasar, kami turut memperkuat porsi investasi pada instrumen berisiko rendah yang memiliki likuiditas agar stabilitas portofolio tetap terjaga,” kata Budi.
Dengan strategi yang mengedepankan selektivitas, likuiditas, dan kehati-hatian, Dapen BCA berupaya menjaga keamanan aset sekaligus memastikan pemenuhan kewajiban kepada para peserta.
“Melalui langkah ini, kami berupaya mencapai hasil investasi yang optimal sekaligus memastikan keamanan aset guna memenuhi kewajiban pembayaran manfaat pensiun kepada peserta,” katanya.
Sementara itu, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia juga memiliki pandangan yang sama.
Direktur Eksekutif AAJI, Togar Pasaribu, menegaskan pentingnya penguatan strategi mitigasi risiko dan penyesuaian portofolio investasi oleh pelaku industri di tengah kondisi pasar yang fluktuatif.
“Gejolak volatilitas pasar saham yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir memang mengambil perhatian besar bagi industri keuangan, tidak terkecuali industri asuransi jiwa. Kami memandang hal ini menjadi sinyal bagi industri asuransi jiwa untuk memperkuat strategi mitigasi risiko dan penyesuaian portofolio investasi,” kata Togar kepada Bisnis, Jumat (21/3/2025).
Dia menjelaskan bahwa pada dasarnya perusahaan asuransi jiwa menerapkan strategi investasi jangka panjang berbasis manajemen risiko.
Oleh karena itu, fluktuasi pasar dalam jangka pendek tidak serta-merta memberikan dampak signifikan terhadap kinerja investasi secara keseluruhan.
“Diversifikasi portofolio akan turut membantu dalam menjaga stabilitas hasil investasi,” katanya.
Lebih lanjut, Togar mengingatkan bahwa penempatan investasi perusahaan asuransi jiwa telah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 71 Tahun 2016 dan perubahan dalam POJK Nomor 5 Tahun 2023. Aturan ini memberikan batasan yang bertujuan menjaga kesehatan keuangan perusahaan dan melindungi pemegang polis.
Dengan adanya batasan tersebut, lanjut Togar, penempatan investasi telah dipagari sehingga dampak negatif tentunya dapat ditangani oleh perusahaan. Hingga akhir 2024, portofolio investasi industri asuransi jiwa didominasi oleh penempatan pada Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 37,9%, disusul oleh instrumen saham dengan porsi sebesar 24,7%.
Menurut Togar, saham masih menjadi instrumen menjanjikan dalam hal profitabilitas dan penguatan modal perusahaan.
“Saham tetap menjadi salah satu instrumen yang menjanjikan dalam hal profitabilitas perusahaan. Selain itu, investasi pada saham juga bisa menjadi langkah yang baik untuk memperkuat modal perusahaan,” katanya.
Namun demikian, dia kembali menegaskan bahwa strategi investasi akan sangat bergantung pada kondisi makroekonomi serta karakteristik dan preferensi masing-masing perusahaan.
“Sebagaimana disampaikan sebelumnya, diversifikasi tetap harus dilakukan agar risiko investasi dapat terdistribusi merata di berbagai instrumen. Strategi investasi bergantung pada preferensi masing-masing perusahaan (baik dalam aspek strategi investasi maupun profil risiko yang dimiliki) dan kondisi makroekonomi,” pungkasnya.