Bisnis.com, JAKARTA - Keputusan Presiden AS Donald Trump mengenakan tarif resiprokal terhadap sejumlah negara diperkirakan ikut berdampak ke sektor perbankan RI. Terlebih, kebijakan ini juga mendorong pelemahan nilai tukar rupiah.
Pengamat perbankan dan praktisi sistem pembayaran Arianto Muditomo menyebut dampak kebijakan tarif Trump dan pelemahan rupiah terhadap bisnis perbankan di Indonesia dapat terlihat dari meningkatnya volatilitas nilai tukar serta tekanan terhadap stabilitas makroekonomi.
Dia menjelaskan kebijakan tarif Trump yang bersifat proteksionis memicu ketegangan dagang global, terutama antara AS dan China. Hal tersebut menyebabkan arus modal asing keluar dari pasar negara berkembang seperti Indonesia.
Arianto melanjutkan, hal ini berujung pada pelemahan rupiah, yang meningkatkan biaya impor dan mendorong inflasi.
"Bagi sektor perbankan, dampaknya adalah meningkatnya risiko kredit, khususnya pada debitur berbasis impor dan sektor yang sangat tergantung pada bahan baku luar negeri," kata Arianto, Senin (7/4/2025).
Senada, Head of Research Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan mengatakan pergerakan nilai tukar rupiah yang telah menembus kisaran Rp17.000 semakin meningkatkan potensi Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga acuannya. Hal tersebut seiring dengan upaya bank sentral dalam menjaga nilai rupiah
Baca Juga
"Hal ini akan berdampak pada peningkatan risiko kredit yang dapat menekan kinerja bisnis dan keuangan bank," jelasnya.
Ke depan, dia menilai perlu ada langkah-langkah strategis yang dapat menjaga stabilitas rupiah. Dia juga menyebut perlunya menjaga iklim bisnis dengan baik, khususnya pada sektor ekspor dengan melakukan negosiasi tarif impor.
Dia juga menyebut perlunya pemberian stimulus guna menjaga likuiditas bank tetap baik. Stimulus yang terkait likuiditas seperti kebijakan makro prudensial untuk likuiditas maupun ke depannya seperti restrukturisasi seperti saat Covid-19. "Tetapi, pemberlakuannya harus kondisional sesuai perkembangan," ujarnya.
Prospek Saham Perbankan
Saham perbankan berpotensi menjadi sektor paling fluktuatif pada perdagangan usai periode libur Panjang Lebaran 2025. Dinamika perekonomian global seperti kebijakan tarif resiprokal oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dinilai menjadi salah satu sentimen yang berpengaruh.
Senior Market Chartist Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta menyebut bahwa pergerakan saham perbankan cenderung masih berada dalam tren sideways alias tidak menunjukkan tren tertentu.
“Kalaupun nanti secara teknikal pergerakan saham perbankan ternyata secara trennya masih sideways, berarti otomatis masih ada harapan bahwasanya fase akumulasi juga bisa terbentuk. Sentimen terkait efek tarif resiprokal AS itu menurut saya hanya bersifat temporer,” katanya kepada Bisnis, Senin (7/4/2025).
Menurutnya, saham perbankan menjadi salah satu penentu utama dalam pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Hal ini tak terlepas dari kapitalisasi pasar (market cap) dan berat pasar (market weight) yang dimiliki sektor perbankan.
Dengan demikian, sektor perbankan juga dapat menjadi pemberat apabila indeks komposit mengalami kinerja perdagangan yang volatil, melemah, atau bahkan mengalami pembekuan perdagangan sementara alias trading halt.
Itu sebabnya, dia merekomendasikan agar investor saham tetap menitikberatkan kepada manajemen risiko yang baik. Nafan menganjurkan agar investor mencermati emiten-emiten dengan fundamental yang kuat.
“Termasuk perbankan yang berfundamental positif, mengingat harga sahamnya sudah terdiskon alias undervalued. Menurut hemat saya seperti itu,” tutur Nafan.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.