Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

AASI Jelaskan Efek Berganda Inflasi Medis ke Industri Asuransi Syariah

Mercer Marsh Benefits (MMB) sebelumnya memperkirakan inflasi medis di Indonesia mencapai 13% pada 2024.
Pegawai memotret logo asuransi syariah dan Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) di Jakarta. Bisnis/Himawan L Nugraha
Pegawai memotret logo asuransi syariah dan Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) di Jakarta. Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) menjabarkan efek berganda inflasi medis bagi industri asuransi syariah di Indonesia.

Mercer Marsh Benefits (MMB) sebelumnya memperkirakan inflasi medis di Indonesia mencapai 13% pada 2024. Data itu selaras dengan peningkatan beban klaim industri asuransi kesehatan di dalam negeri.

Achmad Kusna Permana, Ketua Bidang Hubungan Internasional AASI, mengatakan inflasi medis saat ini menjadi tantangan utama bagi industri asuransi kesehatan.

"Akibatnya ada dua, secara pertumbuhannya akan menurun, yang kedua preminya akan naik terus jadinya. Akan dibuang ke mana, yang dirugikan customer juga," kata Permana saat ditemui di Wisma Bisnis Indonesia, Rabu (16/4/2025).

Imbas inflasi medis sebesar 13% yang terjadi tahun lalu, Permana melihat hal itu membuat perusahaan asuransi mau tidak mau harus mengerek biaya premi mereka. Hal tersebut menurutnya keputusan wajar jika melihat dampak di kemudian hari yang bisa semakin buruk.

"Kalau mereka tidak naikkan tahun ini, tahun depan [naik] berapa? 30-40% juga. Akhirnya ada regulary pricing. Akibat yang berikutnya adalah apa? Semakin menurun jumlah yang berasuransi karena mahal preminya," ujarnya.

Kondisi tersebut menurutnya harus ada solusi yang diberikan oleh pihak regulator. Menurutnya, harus ada kebijakan yang menerobos yang bisa menjadi intervensi di tengan inflasi medis yang terus melambung tinggi.

Adapun yang sedang dilakukan regulator saat ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang menyiapkan Rancangan Surat Edaran OJK tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan.  

Salah satu butir ketentuannya mengatur bahwa produk asuransi kesehatan yang memberikan manfaat rawat jalan harus menerapkan pembagian risiko (co-payment) yang ditanggung oleh pemegang polis, tertanggung atau peserta paling sedikit sebesar 10% dari total klaim.

Ketentuan lainnya adalah adanya fitur Coordination on Benefit (CoB), di mana asuransi swasta dapat membagi beban klaim kesehatan dengan BPJS Kesehatan. Aturan mainnya, biaya pelayanan yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan ditetapkan sebesar 75% dari tarif INA-CBG sesuai dengan hak kelas perawatan peserta yang diklaimkan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut.

Di sisi lain, selisih biaya pelayanan yang ditanggung oleh asuransi kesehatan tambahan dihitung dari selisih tarif fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut dengan biaya yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan paling banyak sebesar 125% dari tarif INA-CBG sesuai dengan hak kelas perawatan peserta.

Ketentuan-ketentuan dalam regulasi tersebut diharapkan dapat menjadi solusi bagi industri asuransi kesehatan menghadapi tantangan inflasi medis.

"Itu yang government harus melihat. Memang harus segera. Harus ada kebijakan yang bisa menerobos itu. Kalau dibebankan pada inflasi aja, saya meyakini agak susah," pungkasnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper