Praktisi Manajemen Risiko dan Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi) Wahyudin Rahman menilai proteksi asuransi dalam KPR masih tetap relevan, apalagi sebagai pelindung bagi perbankan dan keluarga debitur.
Namun, agar industri tetap sehat, menurutnya regulator perlu hadir melalui standardisasi produk dan tarif terutama asuransi jiwa kredit (AJK), melakukan integrasi data antara bank dan asuransi, serta fasilitasi risk pooling antar perusahaan.
"Kalau perlu, insentif fiskal juga bisa diberikan bagi pelaku industri yang aktif mendukung pembiayaan perumahan rakyat," kata Wahyudin.
Sementara dari sisi industri, Wahyudin menilai perusahaan asuransi perlu menyiapkan tiga strategi utama. Pertama, melakukan seleksi risiko berbasis data agar asuransi bisa memilah debitur yang benar-benar layak. Kedua, diversifikasi portofolio agar tidak bergantung pada KPR subsidi saja. Ketiga adalah mengatur kembali skema reasuransi supaya risiko bisa dibagi lebih sehat.
"Selain itu, bundling produk antara asuransi jiwa kredit dan kebakaran dalam satu paket premi tetap juga bisa menambah efisiensi dan daya tarik," ujarnya.
Adapun objek asuransi yang memiliki risiko tinggi biasanya berdampak pada penetapan premi asuransi. Dalam premi KPR ini, Wahyudin menjelaskan bahwa premi asuransi jiwa kredit dihitung dari tarif dikalikan plafon pinjaman, sementara asuransi kebakaran dihitung berdasarkan nilai pasar bangunan.
"Tarifnya bisa disesuaikan berdasarkan usia, tenor (AJK) dan lokasi, kelas konstruksi (KPR). Untuk KPR subsidi, biasanya premi ditanggung debitur, tapi ada juga dukungan pemerintah berupa subsidi atau insentif agar tetap terjangkau," pungkasnya.