Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia hingga kini kalah jauh dibandingkan dengan Kenya dari sisi penggunaan layanan transaksi nontunai. Penggunaan uang elektronik di Tanah Air masih sangat minim dan perlu ditingkatkan.
Budi Hartono, Vice President Electronic Banking Group PT. Bank Mandiri mengatakan jumlah transaksi jual beli di Indonesia saat ini 85% masih menggunakan uang kartal (cash) sementara transaksi elektronik baru mencapai 8% dan sisanya dalam bentuk lain. Jumlah transaksi elektronik tersebut perlu ditingkatkan untuk membantu pencatatan transaksi penduduk yang berkontribusi terhadap Produk Domesti Bruto (PDB) Indonesia.
“Nilai transaksi tunai di Indonesia tahun ini diperkirakan mencapai US$425 miliar. Angka ini lebih tinggi dibandingkan transaksi tunai di negara lain seperti Singapura dan Malaysia,” ujarnya dalam kegiatan Media Training 2014 di Bukittinggi, Sumatera Barat, 11-14 Desember lalu. Dia menambahkan transaksi tunai di Singapura mencapai 39% sementara Malaysia mencapai 42% dari jumlah total transaksi negara tersebut.
Budi juga membandingkan Indonesia dengan Kenya di mana sepertiga jumlah PDB-nya telah tercatat dalam transaksi elektronik. Penggunaan transaksi elektronik secara masif di negara tersebut juga menyumbang pertumbuhan ekonomi Kenya hingga 15%.
“Di sana tingkat kriminalitas tinggi. ATM hanya ada di dalam mall dan dijaga tentara. Ada jam malam sehingga picu penggunaan noncash,” jelasnya.
Tidak hanya itu, para turis asing yang berpergian ke Kenya juga memanfaatkan transaksi non tunai. Jika umumnya di Indonesia turis asing menggunakan money changer untuk menukarkan uang tunai asal negaranya ke mata uang rupiah, lain halnya dengan yang terjadi di Kenya.
"Di negara kita, turis asing datang di Bandara Soekarno Hatta. Mereka cari money changer. Tapi di Kenya, mereka datang langsung sewa handset lokal. Beli sim card lokal. Mereka ubah dollar ke e-money. Bayar taksi, transaksi di web market pakai HP. Penggunaan sudah masif. Itu sangat bantu mereka," paparnya.
Budi juga mengutip teori ekonomi Friedrich Schneider yang mengatakan bahwa meningkatkan jumlah transaksi elektronik suatu negara sebesar 10% akan mengurangi jumlah shadow economy hingga 5%. Shadow economy adalah aktivitas ekonomi penduduk berpotensi pajak yang tidak tercatat, namun sebetulnya berkontribusi terhadap Produk Nasional Bruto maupun Produk Domestik Bruto satu negara.
Selain itu, dia juga mengemukakan kelemahan uang kartal. Menurutnya, uang kartal memerlukan ongkos produksi dan distribusi yang lebih besar ketimbang uang elektronik. Penggunan uang kartal yang masih dominan juga berakibat pada konsumsi masyarakat yang tidak bisa dicatat dengan baik oleh perbankan.