Bisnis.com, JAKARTA – Pelemahan daya beli masyarakat di Tanah Air kian terlihat dari sejumlah indikator makroekonomi maupun sektor keuangan. Salah satunya tampak dari menurunnya kemampuan segmen rumah tangga dalam melakukan pelunasan kredit.
Statistik Sistem Keuangan Indonesia terbitan Bank Indonesia (BI) mencatat penyaluran kredit perbankan kepada sektor rumah tangga sebesar Rp1.870,48 triliun per April 2025. Realisasi ini tumbuh 9,15% secara tahunan (year-on-year/YoY) dari sebelumnya Rp1.713,75 triliun.
Namun demikian, rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) pada sektor yang sama tercatat sebesar 2,33% hingga bulan keempat tahun ini. Jumlah ini meningkat dibandingkan pada Januari 2025 yang sebesar 2,17%.
Lebih lanjut, komponen Kredit Pemilikan Rumah (KPR) menjadi penyumbang NPL tertinggi untuk sektor rumah tangga pada April 2025, yakni sebesar 3,07%.
Komponen Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) berada di posisi kedua dengan tingkat NPL 2,35%, diikuti kredit rumah tangga lainnya sebesar 2,13%, kartu kredit perbankan untuk rumah tangga sebesar 2,04%, kredit multiguna sebanyak 1,64%, serta kredit peralatan rumah tangga 1,08%.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebelumnya mewanti-wanti bahwa pelemahan daya beli masyarakat hingga gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) berpotensi meningkatkan risiko KPR bermasalah.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan NPL komponen KPR pada Maret 2025 berada pada level 2,93%. Jumlah itu meningkat dari Maret 2024 yang sebesar 2,49%, meskipun masih di bawah ambang batas 5%.
“Namun, seiring masih berlanjutnya gelombang PHK dan indikasi pelemahan daya beli masyarakat, perlu peningkatan kewaspadaan terhadap potensi perburukan risiko kredit pada sektor KPR bagi debitur yang berada pada level middle-low income,” katanya dalam jawaban tertulis Rapat Dewan Komisioner (RDK) OJK bulanan, Minggu (25/5/2025) lalu.
Sebagai penyalur utama kredit terhadap rumah tangga, realita ini mengharuskan industri perbankan untuk memperkuat manajemen risiko.
PT Bank CIMB Niaga Tbk. (BNGA) mengamini bahwa daya beli masyarakat yang melemah berbuntut kepada kenaikan NPL rumah tangga secara agregat.
Presiden Direktur CIMB Niaga Lani Darmawan menjelaskan bahwa situasi ini juga mengindikasikan kemampuan membayar nasabah yang menurun, sehingga pertumbuhan penyaluran kredit berpotensi melambat.
Warga melintas di proyek pembangunan rumah bersubsidi di Klapanunggal, Kabupaten Bogor, Rabu (27/5/2020). Bisnis/Abdurachman
“Bank saat ini lebih selektif untuk memberikan kredit dan mengatur komposisi kredit untuk bisa mengatur bank-wide NPL,” katanya saat dihubungi Bisnis, Kamis (19/6/2025).
Sementara itu, PT Bank Oke Indonesia Tbk. (DNAR) alias OK Bank mengidentifikasi bahwa NPL rumah tangga yang meningkat tak hanya disebabkan pelemahan daya beli masyarakat akibat inflasi dan ketidakpastian ekonomi.
Direktur Kepatuhan OK Bank Efdinal Alamsyah menggarisbawahi adanya faktor lain seperti stagnasi pendapatan rumah tangga hingga beban cicilan yang meningkat, terutama bila masyarakat terpapar suku bunga variabel atau mengambil pinjaman konsumtif lebih dari kemampuan riil.
“Antisipasi bank antara lain dilakukan dengan peninjauan kembali eksposur kredit. Bila terdapat konsentrasi risiko yang tinggi misalnya pada KTA [kredit tanpa agunan] atau kartu kredit, bank dapat menahan ekspansi di segmen tersebut,” terangnya.
Efdinal lantas menyebut bahwa perbankan perlu memperketat analisis kredit dan melakukan diversifikasi ke sektor yang lebih resilien, salah satunya dengan mengalihkan fokus ke sektor dengan profil risiko lebih rendah.
Terakhir, bank juga memiliki opsi melakukan penyesuaian cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) agar tetap mencerminkan ekspektasi kerugian yang realistis.
Sebelumnya, PT Bank Mega Syariah juga memandang adanya pelemahan daya beli masyarakat, tecermin dari penurunan Indeks Penjualan Riil (IPR) BI dari 9,3% menjadi 5,5% pada kuartal I/2025. Perseroan pun memandang bahwa inovasi digital menjadi strategi yang digunakan untuk mendongkrak penyaluran pembiayaan konsumer.
Consumer Financing Business Division Head Bank Mega Syariah Raksa Jatnika Budi menjelaskan bahwa penurunan daya beli masyarakat diiringi pelambatan kredit konsumsi perbankan, yakni hanya 9,5% YoY per April 2025 dari 10% pada bulan sebelumnya.
“Inovasi digital menjadi semakin penting untuk memperluas jangkauan layanan dan meningkatkan kenyamanan nasabah,” kata Raksa dalam keterangannya, Senin (16/6/2025).
Dari sudut pandang lain, Pengamat Perbankan Moch. Amin Nurdin melihat bahwa pelunasan kredit konsumer, khususnya KPR, bukan merupakan prioritas masyarakat saat daya beli mereka merosot.
Untuk mengantisipasi risiko akan hal ini, dia mengemukakan bahwa perbankan tak perlu meninjau ulang eksposur kredit, melainkan dengan menyesuaikan kebijakan suku bunga. Hal ini dikarenakan kredit rumah tangga menjadi salah satu penopang pembiayaan bank.
“Bank memang perlu melihat kondisi suku bunganya untuk disesuaikan. Bisa juga ditawarkan kepada nasabah untuk restrukturisasi, khususnya di konsumer,” tuturnya.
Menurut Amin, memang terdapat andil tekanan perekonomian global dan domestik terhadap menurunnya kemampuan bayar sektor rumah tangga. Dia lantas berpendapat bahwa pemerintah dapat memberikan insentif maupun stimulus terkait untuk memacu belanja masyarakat.