Bisnis.com, JAKARTA – Seiring terlewatinya tenggat pemenuhan ketentuan ekuitas minimum sebesar Rp12,5 miliar bagi perusahan peer-to-peer (P2P) lending pada Juni 2025, sejumlah pelaku usaha terus melakukan penjajakan kepada investor strategis.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda mengatakan langkah paling ideal perusahaan P2P lending dapat memenuhi ekuitas minimum adalah adanya suntikan investor.
"Namun demikian, kondisi saat ini sulit mencari investor di tengah kondisi suku bunga tinggi. Maka yang paling rasional adalah merger. Dengan merger, tentu jumlah perusahaan pinjaman daring (pindar) akan berkurang karena moratorium juga masih berlaku," kata Huda kepada Bisnis.com, Selasa (8/7/2025).
Meski jumlah pemain di industri akan semakin sedikit ketika merger dilakukan, menurutnya industri P2P lending akan lebih kuat secara permodalan. Selain itu, merger juga memperluas pangsa pasar, walaupun ada konsekuensi layoff di perusahaan merger tersebut.
"Kalau dapat investasi, kemungkinan layoff akan kecil. Jadi dengan kemungkinan tersebut, saya rasa jumlah pemain pindar ini akan semakin sedikit hingga tahun 2025 berakhir," tegasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Intitute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti Soeryaningrum Agustin menilai langkah merger yang ditempuh perusahaan akan lebih rumit dibanding memperkuat modal dengan cara mendapat suntikan investasi.
Baca Juga
"Merger ini mungkin butuh waktu lama untuk bisa melebur menjadi satu perusahaan. Mungkin tidak cukup 1 tahun, bisa lebih dari 2 tahun. Kalau suntikan investor, ini lebih mudah. Tapi kan untuk bisa menggaet investor untuk mau suntik modal ke perusahaan agak sulit dengan ketidapkastian kondisi ekonomi seperti ini," ujar Esther.
Meski ada ketidakpastian ekonomi, Esther menilai industri P2P tetap punya daya tarik terutama karena prospek menjanjikan pinjaman online menyasar kalangan unbankable yang besar di Indonesia.
"Kalau pinjol sebenarnya prospeknya itu masih besar karena masih banyak masyarakat kalangan bawah, masyarakat berpenghasilan rendah, itu mereka unbankable," tegasnya.
Adapun, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi melihat daya tarik industri P2P lending di Indonesia datang dari pemain syariah. Menurutnya, pertumbuhan pasar fintech syariah ke depan akan didukung oleh jumlah 237,56 juta penduduk muslim Indonesia. Faktor lainnya adalah adanya kepastian hukum melalui regulasi yang dibuat OJK dengan ketat.
"Model bisnis berbasis akad syariah menawarkan keuntungan halal, menarik investor yang mencari investasi etis. Prospek UMKM sebagai target pembiayaan juga menjanjikan, mengingat kontribusi besar UMKM pada ekonomi," ujar Heru.
Heru menyoroti ada tantangan besar pula di balik peluang yang terlihat menjanjikan. Misalnya, literasi keuangan syariah yang masih rendah di level 8,93%. Menurutnya hal ini bisa diatasi dengan edukasi dan meningkatkan inklusi.
"Investor [P2P lending] yang ideal adalah bank syariah atau lembaga keuangan syariah, karena selaras dengan prinsip syariah dan memiliki jaringan nasabah luas. Modal ventura juga cocok untuk pindar yang fokus pada inovasi teknologi, sementara multifinance kurang ideal karena biasanya fokus pada pembiayaan konsumtif, bukan produktif seperti pindar," tegasnya.
Ketentuan ekuitas minimum
Adapun berdasarkan laporan OJK, saat ini masih terdapat 14 dari 96 perusahaan P2P lending yang belum memenuhi ekuitas minimum Rp12,5 miliar. Ekuitas minimum ini sebenarnya harus dipenuhi paling lambat Juni 2025. Dari 14 perusahaan tersebut, sebanyak lima perusahaan telah menyampaikan surat komitmen dan action plan mereka untuk memenuhi ekuitas dimaksud kepada OJK.
Sementara itu, ada dua perusahaan P2P lending syariah yang bersiap melakukan merger, kemudian ada tujuh perusahaan yang sedang melakukan penjajakan dengan investor.
Heru mengatakan jumlah pemain pinjol di akhir 2025 nanti kemungkinan akan berkurang. Kemungkinannya ada dua, pertama adalah perusahaan melalukan merger sehingga terbentuk satu perusahaan yang lebih solid. Kedua, perusahaan justru tidak mampu memenuhi ekuitas minimum sampai akhirnya gugur dengan sendirinya.
"Dari 97 pindar per Oktober 2024, jumlahnya mungkin turun ke sekitar 80-85, dengan merger menyumbang penurunan kecil antara 2 sampai 3 entitas, sedangkan pengembalian izin lebih signifikan jika tekanan regulasi berlanjut," katanya