Bisnis.com, JAKARTA— Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Anthonius Tony Prasetiantono menyebut penempatan kader partai politik untuk menjabat komisaris di bank pelat merah menjadi hal yang biasa.
Bahkan, ironisnya dianggap wajar bagi para partai pemenang. "Tidak ada makan siang yang gratis. Orang-orang yang berkontribusi bagi partai, maka akan mendapat reward," ujarnya kepada Bisnis.com, Selasa (24/3/2015).
Kementerian BUMN menunjuk sejumlah relawan Presiden Joko Widodo dan kader partai politik yang masih aktif untuk menempati posisi komisaris di PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Negara Indonesia Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, dan PT Bank Tabungan Negara Indonesia Tbk.
\Tony menilai era pemerintahan Jokowi ini memberikan ruang yang lebih luas kepada partai politik untuk menduduki jabatan komisaris dibandingkan pemerintahan sebelumnya.
"Iya, zaman SBY sudah banyak. Tapi, masa era Jokowi mau mengulang kesalahan yang sama? Bahkan diberi ruang lebih lebar. Di era sebelumnya, tidak pernah ada ceritanya ahli politik jadi Komisaris Utama. Ini tidak masuk di akal saya. Jadi sekarang malah lebih buruk dibandingkan sebelumnya," terangnya.
Dia juga mengkritisi jumlah jajaran komisaris perbankan seperti di BNI dan Mandiri yang mengalami pertambahan dari 7 orang menjadi 9 orang.
"Tambahnya jumlah komisaris dari 7 jadi 9 malah semakin gemuk. Mestinya tetap 7 saja, tapi diisi oleh sosok yang kompeten dan memiliki jam terbang tinggi," ujar Tony.
Dia menambahkan penempatan direksi pada empat bank BUMN ini telah dilakukan dengan benar dan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.
"Kalau rekrutmen direksi bank BUMN, rasanya sdh memadai. Basis kompetensi atau profesionalismenya sudah kuat. Tidak ada yg melenceng ke basis partai atau relawan. Itu sudah benar," kata Tony