Bisnis.com, JAKARTA — Perusahaan pembiayaan atau multifinance ditargetkan dapat menyalurkan pembiayaan produktif dengan porsi 51% dari total penyaluran industri pada 2028.
Pada saat yang sama, pasar produktif juga menjadi incaran industri pembiayaan lainnya seperti perbankan hingga fintech P2P lending.
Dalam persaingan pasar ini, Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno mengatakan setiap industri memiliki karakteristiknya masing-masing. Misalnya, agunan pinjaman bank lebih banyak berupa tanah dan bangunan, sedangkan pembiayaan modal kerja multifinance menggunakan kendaraan dan alat berat.
"Perbankan itu mungkin nilainya banyak yang besar-besar. Kalau di kita [multifinance] mungkin nilainya lebih kecil. Kalau P2P lending lebih kecil lagi. Masing-masing punya [segmen] sendiri-sendiri, ticket size berbeda, jaminan juga beda," kata Suwandi kepada Bisnis, pekan lalu.
Adapun, salah satu regulasi yang mengatur penyaluran pembiayaan multifinance salah satunya adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 46/2024. Beleid ini dibuat sebagai langkah OJK mendorong pembiayaan produktif multifinance.
Beleid ini mengatur bahwa nilai pembiayaan untuk setiap debitur pembiayaan modal kerja dengan cara fasilitas modal usaha paling banyak ditetapkan Rp10 miliar, sedangkan nilai pembiayaan multiguna dengan cara fasilitas dana paling besar mencapai Rp500 juta. Pembiayaan ini diwajibkan menyertakan agunan berupa kendaraan bermotor, mesin, tanah, bangunan, kapal dan/atau alat berat.
Baca Juga
Namun demikian, persyaratan memiliki agunan dapat dikecualikan bagi kegiatan usaha pembiayaan modal kerja dengan cara fasilitas modal usaha dengan nilai paling besar Rp50 juta untuk setiap kreditur.
Suwandi menilai ketentuan di POJK 46/2024 cukup memberikan ruang industri multifinance bergerak fleksibel dalam persaingan pasar pembiayaan produktif dengan lembaga jasa keuangan lainnya.
"Ini, kan, memang sudah didisukusikan sebelum ada POJK keluar. Sudah sesuai dengan harapan industri," tegasnya.
Menilik kinerja pembiayaan produktif masing-masing industri, dalam Januari—Mei 2025 porsi pembiayaan multifinance untuk sektor produktif mencapai 46,47% dari total piutang pembiayaan sebesar Rp504,58 triliun. Sementara jika melihat data statistik OJK kuartal I/2025, pertumbuhan pembiayaan modal kerja mencetak pertumbuhan paling tinggi dibanding pembiayaan investasi dan pembiayaan multiguna, yakni tumbuh 11,07% (year on year/YoY) dibanding dua pembiayaan lainnya yang masing-masing hanya tumbuh sektiar 3% (YoY).
Sementara di perbankan, pembiayaan kredit modal kerja dalam lima bulan pertama 2025 tumbuh 4,94% (YoY). Dalam periode ini, kredit bank secara total tumbuh 8,43% (YoY) menjadi Rp7.997,63 triliun.
Sedangkan di industri P2P lending, data terbaru yang dirilis OJK hingga April 2025 mencatat porsi pembiayaan P2P lending di sektor produktif/UMKM mencapai 35,38% atau mencapai Rp28,63 triliun. Pertumbuhan secara tahunan pinjaman produktif P2P lending rata-rata di kisaran 35% sampai 36%.
Sebelumnya, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan pengecualian agunan bagi pinjaman multifinance untuk pembiayaan modal kerja di bawah Rp50 juta menjadi ceruk pasar yang sama-sama disasar oleh industri P2P lending.
"Jika kita mengacu ke beleid perusahaan pembiayaan terbaru, hanya di bawah Rp50 juta saja yang mendapatkan fasilitas bebas agunan. Jadi saya rasa persaingannya hanya di pembiayaan produktif dengan plafon tidak lebih dari Rp50 juta per debitur," kata Huda.
Risiko Kredit Macet
Kewajiban mencapai porsi dominan pembiayaan produktif turut dipikul industri pinjaman online (pinjol) atau fintech peer-to-peer lending. Pada 2028, porsi pinjaman produktif harus mencapai 50%—70% dari total pembiayaan.
Hinga April 2025, pinjaman produktif dan/atau kepada UMKM tercatat baru mencapai Rp28,63 triliun, setara 35,58% dari total penyaluran pinjaman industri.
Sayangnya, pinjaman macet P2P lending dari kategori badan usaha nilainya melonjak cukup tinggi. Pertumbuhan nominal pinjaman macet tersebut juga diikuti dengan melejitnya jumlah entitas badan usaha yang kesulitan membayar pinjaman.
"Kami mengakui memang beberapa platform pindar khususnya yang produktif, banyak yang masuk ke segmen borrower badan usaha untuk mengejar peningkatan di market produktif. Banyaknya borrower [badan usaha] yang bermasalah ini juga disebabkan oleh faktor melambatnya laju ekonomi, baik domestik maupun global," kata Ketua Umum AFPI Entjik S. Djafar kepada Bisnis, Selasa (24/6/2025).
Berdasarkan statistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pinjaman macet lebih dari 90 hari dari entitas badan usaha dalam kuartal I/2025 mencapai Rp849,24 miliar, tumbuh 85,9% (YoY) dibanding periode yang sama pada 2024 dengan nilai pinjaman macet sebesar Rp456,91 miliar.
Sebagai strategi untuk mengatasi pinjaman macet pada badan usaha tersebut, Entjik mengatakan perusahaan penyelenggara P2P lending harus meningkatkan penguatan pada analisa kelayakan kredit.
Dia menututrkan, OJK juga telah menghimbau kepada seluruh penyelenggara untuk lebih taat aturan dan prudent dalam pemberian kredit.
Selain itu, AFPI juga rutin melaukan koordinasi dan komunikasi dengan OJK beserta seluruh stakeholder dalam ekosistem industri fintech P2P lending.