Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat perbankan dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Telisa Aulia Falianty mengatakan kebijakan konsolidasi bank BUMN tidak cukup sekadar menukar atau merotasi direksi di dalamnya tetapi harus diikuti dengan langkah-langkah lanjutan yang strategis.
"Banyak faktor yang dipertimbangkan dalam melaksanakan konsolidasi perbankan, tidak sekadar menukar atau merotasi direksi BUMN," kata Aulia, Senin (30/3/2015).
Aulia menyatakan hal tersebut terkait dengan upaya pemerintah selaku pemegang saham melakukan rotasi sejumlah direksi bank BUMN.
Menurutnya, sebagai tahap awal untuk konsolidasi perbankan, rotasi direksi BUMN memang dibutuhkan, tetapi harus segera diikuti dengan langkah-langkah lanjutan yang strategis mengingat masing-masing bank tersebut memiliki ego yang sulit untuk dihilangkan.
Dia berpendapat konsolidasi bank BUMN membutuhkan direksi yang sanggup melakukan restrukturisasi sampai ke akar-akarnya guna menghilangkan ego sektoral antarbank BUMN. Namun, hal itu akan sulit untuk dilaksanakan karena akan menghadapi kekhawatiran-kekhawatiran dari karyawan bank BUMN tersebut.
"Kekhawatiran mengenai remunerasi dan posisi menjadi salah satu faktor yang harus diperhitungkan untuk melakukan konsolidasi perbankan," ujarnya.
Kemudian, kata Aulia, yang juga harus diingat Bank Mandiri, BNI, BRI, dan BTN masing-masing memiliki segmen yang berbeda yakni ada yang ke arah korporat, ritel, perumahan, dan UMKM, sehingga semua itu harus dipetakan terlebih dahulu sebelum melakukan konsolidasi.
Menurutnya, dibutuhkan rencana yang matang baik strategis maupun aksi konkret untuk mewujudkan ke arah terwujudnya bank BUMN yang kuat dari Kementerian BUMN selaku pemegang saham, apalagi kalau arahnya dalam rangka mewujudkan integrasi perbankan 2020.
Wacana Direksi dari Luar BUMN
Aulia mengusulkan untuk menempatkan direksi dari luar BUMN, terutama bankir yang pernah bekerja di bank-bank swasta asing karena mereka akan lebih mampu menembus batas-batas yang diciptakan di masing-masing BUMN tersebut.
"Saya khawatir kalau masih menempatkan direksi dari kalangan BUMN, mereka masih terbawa dengan sistem birokrasi. Ini berbeda dengan orang luar yang sudah memiliki pengalaman dan wawasan global," ujar Aulia.
Aulia mengatakan perlu pemahaman kepada manajemen direksi bank BUMN bahwa mereka membutuhkan modal lebih besar untuk menghadapi era perdagangan bebas dan salah satu upayanya ke arah tersebut adalah dengan melakukan konsolidasi perbankan.
Sebelumnya, Pengamat Ekonomi dari Universitas Brawijaya Chandra Fajri meminta Presiden Jokowi untuk memprioritaskan konsolidasi perbankan nasional sebagai program utama untuk dijalankan dalam 2-3 tahun awal pemerintahannya.
Menurutnya, konsolidasi perbankan harus dijalankan oleh Presiden Jokowi agar pembangunan infrastruktur tak hanya urusan APBN, tapi bisa juga jadi urusan perbankan.
Menurut Chandra, kesenjangan infrastruktur yang dialami Indonesia saat ini sudah menjadi kesepakatan berbagai pihak untuk dibenahi.
Namun, yang justru belum menjadi kesepakatan bersama adalah sumber pembiayaan untuk membiayai pembangunan infrastruktur tersebut mengingat APBN tidak memiliki kekuatan keuangan yang memadai saat ini.
“Hampir 60% dari belanja APBN habis untuk membayar gaji dan sisanya untuk membayar subsidi dan utang, ujar Chandra.
Tanpa perubahan drastis manajemen fiskal, katanya, APBN tidak bisa diandalkan. “Yang bisa hanya mendorong perbankan masuk membiayai infrastruktur dan itu membutuhkan bank-bank dengan permodalan yang kuat," kata Chandra.
Dia menuturkan konsolidasi perbankan juga diperlukan untuk menghadapi gempuran bank-bank asing yang akan masuk secara bebas ketika liberalisasi perbankan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) diberlakukan pada 2020.