Bisnis.com, JAKARTA--Seorang debitur kartu kredit keberatan dengan biaya materai 6.000 yang dibebankan kepada nasabah. Dia menolak membayar, lalu dicap sebagai debitur macet. Merasa keberatan, dia kemudian menggugat perusahaan perbankan tersebut ke pengadilan.
Adalah Hagus Suanto, pemegang kartu kredit Citibank Indonesia sejak 1993 yang melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sejak Agustus 2012. Hagus menuntut perusahaan perbankan itu membayar ganti rugi senilai Rp1 triliun. Sebuah nilai ganti rugi yang cukup besar.
Bagi Hagus, nilai itu setimpal dengan nama baiknya yang telah rusak karena status ‘debitur macet’. Pernah satu kali, dia mengajukan permohonan peminjaman uang di bank untuk membangun ruko. Semua persyaratan sudah dilengkapinya. Dari segi penghasilan, dia memenuhi kriteria yang telah dipersyaratkan. Namun semua itu terganjal karena status ‘debitur macet’ yang diembannya.
Kasus ini bermula ketika sejak 2005, Hagus menolak membayar biaya materai senilai Rp6.000 per bulan yang menurutnya bukan kewajiban nasabah. Saat pertama kali menandatangani perjanjian kartu kredit dengan Citibank, dia menyatakan tidak pernah diberitahukan tentang kewajiban membayar biaya materai. Dalam tagihan kartu kreditnya waktu itu pun tidak pernah ada rincian biaya materai.
Barulah pada tahun 2000, biaya materai mulai dibebankan kepada dirinya. Menurut Hagus, pemungutan biaya materai itu bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia terkait fungsi bank.
"Bank kan fungsinya menghimpun dana dan memberikan dana kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman, bank bukan penghimpun pajak," katanya. Dengan memungut biaya materai, menurutnya Citibank telah menjadi pemungut pajak.