Bisnis.com, JAKARTA -- Bank Indonesia menyatakan perkembangan Posisi Investasi Internasional (PII) Indonesia pada kuartal II/2015 dinilai masih cukup sehat.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Tirta Segara mengatakan PII Indonesia sampai dengan kuartal II/2015 masih cukup sehat.
"Namun demikian, kami terus mewaspadai risiko net kewajiban PII terhadap perekonomian," ujarnya dalam keterangan resmi yang dikutip, Jumat (2/10/2015).
Otoritas moneter optimistis kinerja PII Indonesia akan semakin sehat sejalan dengan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial yang ditempuh Bank Sentral.
PII Indonesia mencatat net kewajiban sebesar US$419,1 miliar pada kuartal II/2015 atau sebesar 47,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Posisi ini menurun senilai US$9,9 miliar atau sebesar 2,3% dari posisi net kewajiban senilai US$429,1 miliar atau 48,2% PDB pada akhir kuartal I/2015.
"Penurunan net kewajiban PII Indonesia tersebut disebabkan oleh meningkatnya posisi Aset Finansial Luar Negeri (AFLN) dan menurunnya posisi Kewajiban Finansial Luar Negeri (KFLN)," katanya.
Posisi AFLN Indonesia pada akhir kuartal II/2015 meningkat 2,4% (q-t-q) atau senilai US$5,2 miliar menjadi US$226,4 miliar.
Peningkatan tersebut terutama dipengaruhi oleh meningkatnya posisi simpanan sektor swasta pada bank di luar negeri dan meningkatnya investasi langsung penduduk di luar negeri.
"Di samping itu, peningkatan aset lebih lanjut didukung juga oleh net revaluasi positif akibat pelemahan dolar AS atau USD terhadap beberapa mata uang utama dunia lainnya dalam AFLN, seperti Euro, AUD, GBP, dan CHF," ucap Tirta.
Posisi KFLN Indonesia, lanjutnya, pada akhir kuartal II/2015 mengalami penurunan 0,7% (q-t-q) atau senilai US$4,7 miliar menjadi US$645,5 miliar.
Penurunan kewajiban tersebut terutama disebabkan oleh faktor net revaluasi negatif, meskipun pada kuartal laporan arus masuk asing dalam bentuk investasi langsung dan investasi portofolio masih cukup tinggi.
"Net revaluasi negatif pada triwulan laporan disebabkan baik oleh koreksi harga saham maupun akibat penguatan USD terhadap JPY dan IDR, khususnya pada saham dan instrumen utang non-USD," tutur Tirta.