Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

EKSISTENSI BPR SUMBAR: Potret Malang di Tanah Minang

Dulu, Sumatra Barat boleh disebut sebagai rumah bagi berkembangnya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Tanah Air. Maka, jangan heran, di provinsi yang hanya berpenduduk 5,5 juta jiwa itu, jumlah BPR mencapai ratusan unit. BPR tumbuh mengikuti meleknya masyarakat terhadap sektor keuangan selama masa Orde Baru.
Kasir Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menghitung uang rupiah. /Bisnis.com
Kasir Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menghitung uang rupiah. /Bisnis.com

Bisnis.com, PADANG - Dulu, Sumatra Barat boleh disebut sebagai rumah bagi berkembangnya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Tanah Air. Maka, jangan heran, di provinsi yang hanya berpenduduk 5,5 juta jiwa itu, jumlah BPR mencapai ratusan unit. BPR tumbuh mengikuti meleknya masyarakat terhadap sektor keuangan selama masa Orde Baru.

Lumbung Piti Nagari (LPN), semacam lembaga kredit simpan pinjam masyarakat yang ada di hampir setiap desa/nagari berbondong-bondong mengubah diri menjadi BPR. Maka BPR pun berada di puncak kejayaan hingga menjadi identitas daerah, menjadi kebanggaan masyarakat nagari.

Akan tetapi nostalgia tumbuh kembang BPR itu justru kian terasa usang, rasa-rasanya tak akan lagi berumur lama. Kemajuan teknologi, dan serbuan perbankan umum membuat BPR ditinggalkan. “Secara teknologi, BPR lemah. Secara modal juga tidak kuat, sulit bagi BPR untuk bertumbuh,” kata Bob Haspian, Pengawas Bank Senior OJK Sumbar kepada Bisnis.com, belum lama ini.

Dia mengatakan kinerja BPR di daerah itu secara umum masih menjanjikan. Namun, pelemahan harga komoditas sawit dan karet, di mana basis nasabah BPR adalah petani menyebabkan rasio kredit bermasalah BPR membengkak tinggi.

Bahkan, sampai November 2015, kredit bermasalah atau (nonperforming loan /NPL) BPR Sumbar sudah menyentuh 11%, jauh melewati ambang batas regulator yang menetapkan NPL di bawah 5%.

Sepanjang tahun lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahkan mencabut izin dua BPR di Sumbar, yakni BPR LPN Muara Paiti di Kabupaten Limapuluh Kota, dan BPR Carano Nagari di Kabupaten Tanah Datar.

Umumnya, pencabutan izin BPR itu disebabkan minimnya modal dan manajemen BPR yang lemah, sehingga menyebabkan keuangan bank menjadi lumpuh. Menurutnya, kewajiban penyediaan modal minimum atau capital adequacy ratio /CAR sebesar 4% harus mampu dipenuhi pemegang saham, serta rata-rata cash ratio dalam enam bulan ter-akhir mesti memenuhi angka 3%.

“Jika tidak bisa memenuhi ketentuan itu, dengan berat hati OJK akan cabut izin BPR,” ujarnya.

IDENTITAS

Indra Yuheri, Kepala OJK Sumbar mengakui sulit sekali membesarkan BPR di daerah itu. Sebab, sebagian besar BPR lahir dengan semangat kenagarian yang tinggi. BPR dijadikan simbol sekaligus identitas nagari. “Nah, begini susah, dibantu modal juga susah, dimerger mereka juga tidak mau, karena identitas daerahnya jadi hilang,” kata Indra.

Dia mengungkapkan lembaganya sudah berupaya membantu BPR di daerah itu dengan mekanisme merger atau penggabungan, tetapi tidak menuai hasil karena identitas kedaerahan dinomorsatukan.

Sementara itu, pemegang saham BPR sendiri yang umumnya adalah kelompok masyarakat juga tidak mampu memberikan suntikan modal. Adapun, aset 100 BPR di Sumbar hanya berkisar Rp1,5 triliun. Jumlah itu, kata Indra, masih kalah jauh dibandingkan dengan satu BPR di daerah Lampung dan Jawa yang asetnya mencapai Rp4 triliun.

Sekretaris Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Sumbar Yerismal mengakui sedikitnya 10 BPR di wilayahnya mengalami kesulitan modal, sehingga terancam dijual untuk penyelamatan.

Dia mengatakan asosiasi sudah meminta pemegang saham untuk menambah modal BPR, agar tetap mampu bersaing di industri perbankan daerah. Namun, jika penambahan modal sulit dilakukan, maka opsi penjualan BPR bisa jadi diambil.

Yerismal khawatir, jika BPR ditutup, dampaknya akan menimbulkan ketidakpercayaan nasabah terhadap manajemen BPR yang lain. Padahal, tidak semua BPR berada dalam kondisi kesulitan manajemen.

Dia menyebutkan BPR yang berada dalam krisis modal tersebut umumnya hanya memiliki aset di bawah Rp5 miliar. Krisis itu, lanjutnya, disebabkan minimnya tenaga profesional, kreativitas yang kurang dalam menggaet nasabah, serta pasar yang sudah jenuh.

“Kondisinya [BPR] serba sulit, mati juga tidak mau. Berkembang juga susah karena keterbatasan modal,” ujarnya. []

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Heri Faisal
Editor : Fatkhul Maskur

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper