Bisnis.com, JAKARTA - Air mata Sopiah (49), warga Kecamatan Beji, Kota Depok tumpah seketika saat mendatangi Kantor BPJS Kesehatan Kota Depok, Selasa (15/3/2016).
Kedatangannya untuk meminta pelayanan kesehatan bagi sang suami, Slamet Riyadi (50) seolah tak berbuah hasil. Bersama puluhan warga Depok lainnya yang mengatasnamakan Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Kota Depok, Sopiah meminta keadilan, kebijaksanaan yang memihak bagi sang suami.
Sopiah punya alasan tersendiri mengapa berunjuk rasa ke kantor BPJS Depok. Sejak suaminya sakit jantung dan dirawat di RSUD Kota Depok beberapa waktu lalu, pelayanannya terpaksa harus dihentikan pihak rumah sakit. Pasalnya, sang suami, sudah dinonaktifkan dari kepesertaan BPJS Kesehatan gara-gara menunggak bayar iuran selama setahun. Di sinilah perkara penolakan pelayanan Slamet oleh rumah sakit terjadi.
Slamet memang sempat terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan Mandiri kelas III. Namun, di tengah jalan dia tak mampu membayar iuran jaminan kesehatan tersebut. Alasannya sederhana. Boro-boro untuk membayar iuran, untuk makan sehari-hari saja dia dan keluarganya merasa kesulitan.
“Suami saya dulunya tukang bangunan. Sekarang saja kami tinggal bersama anak yang bekerja sebagai office boy,” ujar Sopiah menceritakan suaminya.
Unjuk rasa Sopiah dan puluhan warga yang peduli terhadap kasus kesehatan di Depok ini merupakan kali kedua. Sebelumnya, pada Senin (14/3) Sopiah dan massa DKR lainnya menggelar aksi serupa. Namun, aksi terpaksa harus dihentikan karena koordinator DKR yakni Roy Pangharapan harus diamankan aparat kepolisian atas dugaan mengganggu keamanan.
Pada unjuk rasa kedua ini, Sopiah masih menuntut hal yang sama. Dia ingin suaminya diberikan pelayanan kesehatan dan memperoleh fasilitas BPJS meskipun kepesertaannya nonaktif. Dia berdalih, prinsip gotong royong yang digaungkan pihak BPJS belum menyentuh secara langsung pada masyarakat yang membutuhkan.
Selaku warga tidak mampu, Slamet yang turut dalam unjuk rasa tanpa daksa dan datang dengan dipapah mengaku tidak bisa membayar tunggakan BPJS yang mencapai Rp1,3 juta. Keluarganya bersikukuh agar pemerintah dapat memberikan kebijaksanaan memutihkan tunggakan tersebut.
“Di Depok ini ada sekitar 50.000 warga yang tidak mampu membayar iuran BPJS Kesehatan. Ini adalah contoh kasus kecil. Kami ingin pemerintah menyelesaikan kasus ini,” ujar Koordinator DKR Roy Pangharapan.
Roy mengatakan pembayaran tunggakan Rp1,3 juta yang harus dibayarkan oleh Slamet bisa saja menggunakan uang iuran atau penggalangan dana dari masyarakat. Namun, kata dia, pihaknya ingin pemerintah mencermati bahwa masih banyak warga miskin yang perlu pelayanan kesehatan tanpa harus menanggung beban.
Pemutihan Tunggakan
Pada kesempatan yang sama, Kepala BPJS Kesehatan Kota Depok Betsy Roeroe mengungkapkan peserta yang menunggak pembayaran iuran tidak bisa diputihkan dari tunggakan begitu saja karena ada regulasi yang mengatur hal tersebut.
Dia memberikan contoh kasus yang menimpa Slamet Riyadi. Slamet yang saat ini dinyatakan sebagai peserta nonaktif tidak bisa memperoleh layanan BPJS Kesehatan. Suami dari Sopiah ini harus melunasi tunggakan terlebih dahulu untuk mengaktifkan kembali kepesertaannya.
Betsy sadar betul bahwa Slamet dan masih banyak warga lainnya yang merupakan peserta mandiri tidak mampu membayar tunggakan. Dengan begitu, kepesertaannya bisa digantikan menjadi peserta penerima bantuan iuran yang ditanggung pemerintah.
Menurutnya, apabila warga memang tidak mampu atau tergolong sebagai warga miskin, pihaknya akan berkoordinasi dengan pemerintah setempat untuk mencarikan solusi kasus tersebut. Bagaimanapun, kewajiban pemutihan tunggakan peserta bukan wewenang BPJS.
“Nanti kami akan sampaikan hal ini ke pihak Dinas Kesehatan dan dinas terkait lainnya. Kalau memang Slamet Riyadi ini tergolong miskin, nanti bisa diverifikasi terlebih dahulu,” tuturnya.
Saat ini, jumlah peserta BPJS Kesehatan di Depok mencapai sekitar 950.000 orang. Berdasarkan catatan Bisnis, pada akhir 2015 terdapat sekitar 112.842 warga Depok yang sebelumnya tercatat sebagai peserta Jamkesda sudah resmi menjadi peserta BPJS Kesehatan penerima bantuan iuran secara terintegrasi.
Terpisah, Anggota Jamkes Watch Iwan Kusmawan menyesalkan perlakuan BPJS Kesehatan Kota Depok yang dinilai tidak memihak masyarakat miskin. Tindakan pejabat BPJS tersebut, baik berupa aksi represif terhadap pengunjuk rasa maupun pasien, tidak patut dilakukan.
“Saya pikir Kepala BPJS Depok harus mengedepankan rasa empati untuk memecahkan masalah seperti yang terjadi pada Slamet. BPJS jangan bersikukuh sembunyi di balik regulasi,” katanya.
Menurut dia, pelayanan kesehatan harus dinomorsatukan. Baru setelah itu, persoalan administrasi bisa diselesaikan seadil dan sebijak mungkin. Bagaimanapun, diselenggarakannya layanan BPJS tak lain adalah untuk membantu masyarakat kecil mendapatkan hak kesehatan yang layak.