Bisnis.com, JAKARTA—Bank Indonesia menetapkan beberapa aspek dasar yang harus dipenuhi perusahaan fintech saat menjalankan bisnis di Indonesia.
“[Pertama] mereka [perusahan financial technology] harus punya badan hukum di Tanah Air,” kata Gubernur Bank Indonesia Agus Martowadojo.
Aspek lainnya ialah seluruh transaksi yang dilakukan tidak boleh pakai valuta asing alias harus menggunakan mata uang rupiah. Adapun aspek ketiga, yakni perusahaan fintech bersangkutan harus menyimpan dananya di sistem perbankan Indonesia.
Agus mengakui praktik fintech sarat resiko sehingga Bank Indonesia juga mengimbau agar pebisnis di bidang ini menggabungkan diri dengan asosiasi terkait. Tujuannya untuk memitigasi resiko sehingga masyarakat yang menggunakan teknologi jasa keuangan ini terlindungi, misalnya dari praktik kriminal cyber.
“Perusahaan fintech yang ada di bidang sistem pembayaran [selain bergabung ke asosiasi fintech] juga gabung ke asosiasi sistem pembayaran,” ucapnya.
Teknologi jasa keuangan di dalam negeri mungkin belum seberkembang di negara maju. Tapi bukan berarti dalam perjalanannya tidak ada progress. Fintech di Indonesia terus menggeliat terlihat dari bertambahnya inovasi produk dan layanan yang ada.
Pada 1950-an, teknologi jasa keuangan yang mencuat baru sekadar kartu kredit dan ATM. Perkembangannya terus berlanjut sampai pada akhir 1990-an memasuki era internet dan electronic commerce, sebut saja layanan internet banking dan situs broker saham dalam jaringan alias online.
Tiba pada era 2000-an tatkala teknologi telepon seluler dan ponsel cerdas menjamur. Industri jasa keuangan memunculkan mobile banking. Sejak itu dimasukilah fase kapitalisasi informasi, sebagai aset strategis yang bisa dipertukarkan. Akhirnya menciptakan aneka layanan jasa keuangan, semisal crowdfunding dan peer-to-peer lending.