Bisnis.com, PADANG—Otoritas Jasa Keuangan mengingatkan bank perkreditan rakyat (BPR) di Sumatra Barat untuk lebih prudent dalam penyaluran kredit dan menjaga rasio kredit bermasalah tetap stabil.
Indra Yuheri, Kepala OJK Perwakilan Sumbar menyebutkan rasio kredit bermasalah atau nonperforming loan/NPL BPR di daerah itu sudah jauh melewati ambang batas regulator yakni 8,76%, dari seharusnya tidak lebih 5%.
“Kami ingatkan untuk tetap NPL-nya dijaga, diperbaiki kualitasnya, karena memang sudah tinggi,” katanya, Selasa (28/2/2017).
Dia menyebutkan NPL BPR Sumbar naik 0,27% dari tahun 2015 yang masih tercatat 8,49%. Peningkatan rasio kredit bermasalah itu disebabkan lemahnya harga komoditas petani dalam beberapa tahun terakhir, sehingga menyebabkan banyak debitur yang mengalami gagal bayar.
Apalagi, untuk Sumatra Barat mayoritas kredit yang dikucurkan oleh BPR dialokasikan untuk sektor usaha mikro dan kecil di bidang pertanian dan perdagangan yang sangat tergantung pergerakan harga komoditas.
Ketika harga komoditas turun, maka banyak debitur yang umumnya adalah petani di pedesaan tidak mampu membayar setoran pinjamannya.
Adapun, dari 98 BPR yang ada di daerah itu, sepanjang 2016 mencatatkan pertumbuhan aset sebesar 7,81% dari Rp1,62 triliun menjadi Rp1,75 triliun.
Kemudian, penyaluran kredit tumbuh 8,89% dari Rp1,15 triliun menjadi Rp1,25 triliun, dan penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 11,89% menjadi Rp1,39 triliun dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp1,24 triliun.
Mulai pulihnya harga komoditas, terutama sawit dan karet di tingkat petani diyakini akan memperbaiki kinerja BPR tahun ini.
Indra meyakini kinerja BPR di daerah itu akan meningkatkan signifikan, dengan proyeksi pertumbuhan secara keseluruhan di kisaran 12%.
Ketua Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Sumbar Parman mengatakan secara umum kinerja BPR tahun lalu masih cukup memuaskan mengingat dampak pertama pelemahan ekonomi justru bagi BPR.
“Pelemahan ekonomi dengan rendahnya harga komoditas itu, yang paling pertama terkena dampaknya itu kami [BPR],” katanya.
Menurutnya, BPR sangat mengalami pukulan telak karena 100% pembiayaan diberikan ke sektor mikro dan kecil yang ironisnya paling terdampak akibat pelemahan harga komoditas sawit dan karet.
Apalagi, imbuhnya, bisnis BPR hanya mengandalkan kredit perbankan, sehingga sulit untuk pulih kembali. Begitu juga dengan keterbatasan modal yang menyebabkan bank wong cilik itu tidak bisa melakukan ekspansi.
“Banyak debitur yang kami biayai usahanya bangkrut, akibatnya NPL jadi tinggi. Harapan kami dengan mulai pulihnya harga, kualitas kredit bisa diperbaiki,” katanya.
Menurutnya, dibutuhkan waktu setidaknya hingga tiga tahun untuk memperbaiki kualitas kredit BPR di Sumbar yang sudah mencapai 8,76% agar kembali stabil sesuai ketentuan regulator.