Bisnis.com, JAKARTA - Perjalanan selepas dari Bandara Ngurah Rai menuju GOR Swecapura di Klungkung, Bali berlangsung lancar. Pemandangan yang sempat dihiasi bentangan laut di sekeliling cukup menghibur mata yang lelah dengan hiruk-pikuk gedung beton di Ibu Kota.
Ya, GOR Swecapura di Klungkung, Bali menjadi tujuan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso pada Senin (25/12/2017). Dia hendak meninjau kompleks gedung olah raga yang sejak 22 September 2017 menjelma menjadi lokasi pengungsian warga sekitar Gunung Agung, Bali.
Terdapat sekitar 1.200 pengungsi yang masih bertahan di GOR Swecapura. Sebagian tinggal di dalam tenda, sisanya bermukin di dalam gedung olah raga. Selama sekitar tiga bulan terakhir para pengungsi menghabiskan hari-harinya di sana.
Wayan asal Karangasem, Bali membenarkan bahwa para pengungsi sudah tiga bulan berada di Swecapura. Kendati sedang mengungsi, keluarganya maupun pengungsi lain tetap berusaha menjalani hari-hari secara produktif.
“Suami saya dari pagi sampai sore beternak sapi, sapi mertua. Kalau sapi kami sudah dijual murah saat mau mengungsi,” ucapnya kepada Bisnis.
Kendati hidup dalam kesederhanaan, Wayan mengaku menikmati kondisi yang ada. Sejauh ini di pengungsian GOR Swecapura, imbuhnya, seluruh kebutuhan hidup dapat dikatakan terpenuhi termasukk soal air bersih dan fasilitas mandi, cuci, kakus (MCK).
Baca Juga
Bukti produktivitas yang dimiliki pengungsi tidak hanya tampak dari para kepala rumah tangga yang tetap bekerja. Para ibu rumah tangga juga aktif membuat aneka kerajinan tangan. Ada tempat sok, semacam tempat untuk meletakkan sesembahan bagi umat Hindu serta sundung atau tas yang terbuat dari semacam akar.
“Ini [sundung] kalau dari kami dijual seratus ribuan, tetapi jadi semakin mahal ketika masuk toko. Dari kami hanya bahan bakunya saja,” ucap Ketut, salah satu ibu rumah tangga yang sehari-hari aktif membuat sundung.
Kendati tampak betapa besarnya upaya pengungsi Gunung Agung untuk produktif, status awas yang ditetapkan atas gunung ini memukul kemapanan finansial warga. Hal ini ditegaskan Wakil Gubernur Provinsi Bali I Ketut Sudikerta kepada Wimboh di sela jamuan makan pada Senin malam.
“Kondisi ekonomi terpukul, terutama bagi masyarakat yang juga debitur mikro. Kami harapkan ada kebijakan yang meringankan semisal pengurangan bunga kredit bank menjadi hanya 40% dari ketentuan yang wajib dibayarkan dan diberi kelonggaran waktu pelunasan,” ujar dia.
I Ketut Sudirkerta mengutarakan pula betapa dirinya dan jajaran pemerintah provinsi jengah dengan beredarnya kabar yang bernuansa negatif terhadap keamanan lingkungan di Bali.
Dia mengakui bahwa Gunung Agung tengah bergejolak tetapi status merah atau berbahaya hanya sampai sekitar 10 km di sekeliling gunung ini, bukan mencakup seluruh Pulau Bali.
Alhasil, pengusaha hotel dan restoran turut terkena efek domino gejolak Gunung Agung. Okupansi kamar hotel yang lazimnya paling minim tatkala musim libur akhir tahun berada di kisaran 45% sekarang bahkan kurang dari 20%.
“Kami berharap kepada Ketua Dewan Komisioner OJK agar memberi pertimbangan lebih lanjut terhadap situasi yang dialami pengusaha [dan debitur bank] terkait kondisi yang ada,” ucap I Ketut.
Setelah mendengarkan aspirasi pemprov maupun pelaku dunia usaha dan perbankan di Bali, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengakui besarnya efek domino dari erupsi Gunung Agung. Kondisi yang menimpa Bali saat ini ibarat bola salju yang terus menggelinding.
“Masalahnya, kita tidak tahu kondisi Gunung Agung itu awas sampai kapan. Kalau bencana tsunami seperti di daerah lain itu sekali serangan sehingga langsung ditangani. Kalau Gunung Agung menjadi snow ball tadi,” tutur dia.
Oleh karena itu, imbuh Wimboh, pihaknya akan segera membahas lebih lanjut berbagai aspirasi masyarakat maupun pelaku usaha di Bali terkait multiplier effect erupsi Gunung Agung. Harapan yang mengemuka dari Pulau Dewata adalah pengurangan suku bunga kredit.
Namun, terkait pengurangan suku bunga kredit, ditekankan OJK bahwa hal ini menjadi kewenangan masing-masing bank. Adapun, yang dapat didorong otoritas lebih kepada relaksasi dalam penggolongan kolektibilitas debitur dalam periode tertentu hingga masyarakat pulih pascabencana Gunung Agung.
“[Dengan relaksasi kolektibilitas] seorang nasabah tetap dapat [berada] dalam status kredit lancar meskipun sedang memiliki tunggakan cicilan. Tapi hal ini pun ada prosedurnya di masing-masing bank, termasuk restrukturisasi kredit juga adalah kewenangan bank,” kata Wimboh.
Hingga kini, OJK belum dapat memutuskan secara pasti penanganan seperti apa yang akan diterapkan untuk Bali. Harus dilakukan rapat internal terlebih dulu di Jakarta. Semoga proses yang ditempuh tidaklah lama.