Bisnis.com, JAKARTA—Setidaknya ada tiga hal yang dinilai menjadi tolok ukur dasar guna meneropong perkembangan virtual currency atau mata uang virtual pada waktu mendatang.
Kepala Perwakilan J-World Inc. Richard Susilo mengatakan, pertama-tama prospek virtual currency secara mudah dapat diteropong dari hukum permintaan dan penawaran. Manakala permintaan merosot maka nilainya juga akan jatuh.
“Selain itu, [yang kedua dan ketiga] tergantung penerimaan masyarakat serta tergantung kepada penerimaan pemerintah. Kalau di Jepang, mata yang virtual semisal Bitcoin resmi diterima sedangkan di Indonesia sebaliknya meskipun mungkin permintaan masyarakatnya ada,” ucap dia, di Jakarta, Rabu (31/1/2018).
Richard berpendapat, sebaiknya Indonesia memang tidak menerima keberadaan virtual currency. Hal ini terkait dengan rentannya penggunaan mata uang yang tidak memiliki underlying tersebut untuk praktik pencucian uang dari berbagai aksi kejahatan.
Dia mencontohkan, Jepang yang infrastruktur TI-nya saja sudah mumpuni sempat kebobolan alias jaringan virtual currency mereka diretas. Nah, Indonesia dinilai lebih rentan mengalami hal seperti ini. Ibaratnya, lebih mencegah daripada mengobati.
“Virtual currency ini sangat baik menjadi tempat untuk pencucian uang dari berbagai kejahatan. Karena tidak jelas siapa di belakangnya. Di Jepang saja bisa diretas dalam satu malam. Kalau di Indonesia, aplikasinya masih terlalu rentan dimanfaatkan seperti Yakuza untuk cuci uang,” ucap Richard.
“VC itu tidak ada izin dan tidak ada underlying-nya, dan tidak termasuk currency yang berlaku secara umum. Sebagai bank, kami mendukung pemerintah dan mengikutinnya. Ini harus diregulasikan dengan tepat agar masyarakat tidak dirugikan,” ujarnya.