Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

P2P Lending Disebut Rentenir Digital, Ini Tanggapan Asosiasi Fintech

Aftech menegaskan layanan peer to peer (P2P) lending atau platform untuk pinjaman langsung tunai berbasis teknologi informasi sangat jauh berbeda dengan kegiatan rentenir.
Laboratorium fintech/Reuters-Hannah McKay
Laboratorium fintech/Reuters-Hannah McKay

Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi FinTech Indonesia (Aftech) menegaskan bahwa layanan peer to peer (P2P) lending atau platform untuk pinjaman langsung tunai berbasis teknologi informasi sangat jauh berbeda dengan kegiatan rentenir.

Hal itu dikatakan Wakil Ketua Umum Aftech Adrian Gunadi enanggapi pernyataan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso belum lama ini yang menyebut P2P lending di fintech tak jauh beda dengan kegiatan rentenir digital karena menerapkan bunga tinggi seperti yang biasa dilakukan rentenir.

"Pinjam meminjam dalam fintech tidak dapat disamaratakan dengan kegiatan rentenir, P2P lending yang sejati tidak beroperasi seperti pemberi pay day loan. Sangat berbahaya bila OJK menyamakan semua model bisnis fintech seperti rentenir," ujar Adrian saat menggelar konferensi pers di Jakarta pada Selasa (6/3/2018).

Apalagi, kata Adrian, kehadiran P2P lending tersebut juga didasari semangat memperluas inklusi keuangan serta merangkul kelompok masyarakat yang memang belum memiliki akses kepada perbankan, sedangkan rentenir akan mengenakan pay day loan atau bunga harian kepada nasabah peminjam.

Namun, dia tidak memungkiri bahwa besaran bunga kredit yang diberikan oleh lender kepada borrower cukup bervariasi dan berbeda-beda, dan mayoritas memang lebih tinggi daripada bunga perbankan.

Rata-rata bunga P2P lending pada kisaran 19%-22% setahun. Besarnya bunga kredit yang diberikan tersebut tercipta atas dasar pertimbangan pihak pemberi pinjaman atau lender, seiring dengan besarnya tingkat risiko yang bakal ditanggung oleh sang pemberi pinjaman tersebut.

Ketua Kelompok Kerja P2P Lending Aftech Reynold Wijaya mengungkapkan penentuan besaran bunga turut memperhitungkan karakteristik peminjam yang pada dasarnya adalah orang dengan risiko tinggi.

"Umumnya, peminjam di P2P lending ini adalah orang yang ditolak oleh bank karena tidak bisa memberikan jaminan, yang artinya punya tingkat resiko tinggi," tutur Reynold.

Adrian menambahkan meskipun bunga di P2P lending dinilai cukup tinggi, dalam pelaksanaannya tidak sampai memberatkan para nasabah. Hal itu dikarenakan masa pinjaman melalui fintech P2P lending yang singkat 1 sampai 3 bulan saja.

Fintech pada dasarnya bukan lembaga keuangan, melainkan platform yang menyediakan sejumlah layanan jasa keuangan secara digital, yang mempertemukan antara peminjam dan pemberi pinjaman.

Meski demikian, dalam operasionalnya tetap harus memenuhi syarat dan ketentuan kerja yang sama seperti lembaga keuangan formal. Fintech juga diminta untuk memenuhi standar ISO27001 yang mana itu seperti standar yang diterapkan juga pada perbankan.

Akhir pekan lalu, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso melontarkan pernyataan fintech P2P seperti rentenir yang menawarkan pinjaman dengan bunga tinggi namun tinggi risiko.

“Suku bunga rata-rata 19%, kalau suku bunganya mahal, apakah itu tidak seperti rentenir? Yang punya risiko itu ya peer to peer lending, itu kayak rentenir, digital rentenir. Kita perlu atur supaya adil dan tidak mencekik,” ujar Wimboh.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper