Bisnis.com, JAKARTA — Di tengah masih belum bergeliatnya permintaan kredit, perbankan dinilai lebih memilih untuk mengoptimalkan penempatan dana di surat-surat berharga ketimbang menyalurkannya sebagai kredit.
Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penempatan dana bank pada surat berharga per Februari 2018 tumbuh 22,5% secara year on year (yoy) menjadi Rp1,14 triliun. Angka tersebut jauh di atas pertumbuhan penyaluran kredit bank yang sebesar 8,2% (yoy).
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) BhimaYudhistira Adhinegara mengatakan, bank cenderung mengoleksi surat berharga karena imbal hasilnya yang menjanjikan.
"Surat Berharga Negara dalam 10 tahun [imbal hasilnya] bisa 6,3% dengan risiko rendah dibanding salurkan kredit," katanya kepada Bisnis, Selasa (8/5).
Risiko kredit bank memang cukup tinggi yang tercermin dari rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) yang dikisaran 2,7%. Namun, fenomena tersebut menurut Bhima tidak baik karena bank cenderung cari aman atau dikenal dengan istilah lazy bank.
Menurutnya regulator harus turun tangan agar kredit bank terpacu lewat beberapa kebijakan. Misalnya menurunkan uang muka kredit kendaraan bermotor dan properti dan menaikkan loan to value (LTV) jadi 95%-96%.
"Kedua dengan mempertimbangkan kembali besaran premi restrukturisasi bank LPS, pungutan OJK dan iuran lain sebagai insentif agar bank lebih besar salurkan kreditnya," imbuhnya.