Bisnis.com, JAKARTA — Apa penyebab volatilitas kurs yang sedang terjadi? Ada tiga faktor penyebab utama, yang semuanya berasal dari Amerika Serikat (AS). Pertama, berlanjutnya kenaikan suku bunga Amerika. Kedua, kenaikan defisit fiskal AS yang menyebabkan yield US Treasury bonds meningkat. Ketiga pola diplomasi Presiden AS yang cenderung konfrontatif dengan Iran sehingga membuat harga minyak meningkat.
Suku bunga the Fed telah naik secara bertahap dari 0,25% menjadi 1,75% sejak Desember 2015 sampai dengan Maret 2018. Suku bunga The Fed akan terus meningkat menuju tingkat yang normal yaitu kira-kira 1% sampai dengan 1,5% di atas target inflasi AS. Bila target inflasi AS adalah 2%, maka suku bunga the Fed kemungkinan akan menuju ke sekitar 3,0% sampai dengan 3,5 % di akhir 2019-2020. Suku bunga The Fed pada 2007, sebelum krisis sub prime tahun 2008 adalah sekitar 5,25%.
Naiknya Fed rate, US Treasury yield, dan harga minyak telah menekan kurs banyak negara. Negara dengan defisit ekspor impor barang dan jasa atau current account deficit (CAD) mengalami tekanan lebih besar daripada negara yang surplus ekspor. Dalam periode kenaikan suku bunga the Fed, situasi volatilitas kurs dialami oleh banyak negara di pada 2013, 2015, dan 2018. Dalam 5 bulan ini, kurs rupiah melemah 4,1%, India melemah 6,5%, Filipina melemah 5,0%. Kurs Rusia melemah 6,1%, dan Polandia melemah 5,1%. Turki melemah 17% dan Argentina melemah 24%.
Mata uang negara maju, Swedia melemah 6,5% dan Australia melemah 3,1%. Sedangkan Thailand dan Malaysia walaupun kursnya juga mengalami pelemahan di April - Mei tetapi secara year to date masih apresiasi sekitar 1,4% karena dua negara tersebut memiliki surplus neraca ekspor impor.
Negara dengan CAD artinya membutuhkan dana valuta asing dari luar negeri untuk menutup defisit tersebut, yaitu membutuhkan portofolio inflows dan utang luar negeri, serta membutuhkan masuknya penanaman modal asing (PMA).
CAD Indonesia diperkirakan pada 2018 sedikit melebar dari 1,7% PDB pada 2017 menjadi sekitar 2,3% terhadap PDB atau US$25 miliar. Ini masih merupakan angka yang cukup prudent karena di bawah 3% PDB. Bandingkan dengan situasi pertengahan 2013 yang mana CAD mencapai 4,3% PDB. Melebarnya CAD sebenarnya merupakan refleksi dari pemulihan ekonomi, yang ditunjukkan oleh meningkatnya impor barang modal dan impor bahan mentah dan setengah jadi. Inflasi diproyeksikan dapat dipertahankan pada kisaran 3,6% di 2018. Defisit APBN diproyeksikan dapat dijaga di sekitar 2,2% PDB, suatu angka yang juga prudent karena jauh di bawah batas maksimal 3% PDB.
Sejak Februari 2018, upaya stabilisasi moneter telah dilakukan oleh Bank Indonesia (BI). BI menambah supply valas dengan melakukan intervensi secara terukur. Karena sekitar 40% SBN dimiliki oleh investor asing, jika outflow dibiarkan maka akan melemahkan kurs dan meningkatkan yield SBN, maka BI juga telah melakukan pembelian surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder, kumulatif sekitar Rp13 triliun.
Jika ditambah dengan operasi moneter regular pembelian SPN (SBN jangka pendek) di pasar perdana maka total pembelian SBN mendekati Rp50 triliun. Jumlah stabilisasi SBN yang dilakukan BI di pasar sekunder lebih kecil daripada di periode gejolak 2013 dan 2015. Artinya investor SBN cukup positif terhadap kinerja ekonomi Indonesia. BI akan melanjutkan upaya stabilisasi di pasar valas dan pasar SBN.
Walaupun rasio makro ekonomi Indonesia masih relatif sehat dibandingkan negara emerging yang lain, tapi tentu saja kita harus memberikan respons terhadap “concern” para investor portfolio karena merekalah yang porsinya cukup besar membiayai CAD Indonesia. Pada 2017 pembiayaan dari portofolio inflows sekitar US$20 miliar.
Dalam rangka meyakinkan investor pasar keuangan bahwa BI menjaga inflasi tetap rendah serta CAD tetap terkendali di bawah 3% PDB maka BI telah menaikkan suku bunga kebijakan dari 4,25% menjadi 4,5% artinya suku bunga real sekitar 1% di atas inflasi.
BI siap untuk segera menaikkan kembali suku bunga kebijakan dalam rangka menyesuaikan dengan kenaikan suku bunga di regional karena Malaysia, Korea, Filipina dan banyak negara juga sudah menaikkan suku bunga.
Sampai seberapa kenaikan bunga? Karena inflasi kita dan CAD lebih rendah daripada situasi 2013, dan ekonomi Indonesia bukan dalam situasi booming, maka kenaikan suku bunga akan terukur. Tergantung situasi global, suku bunga real sekitar 1,25% sampai 1,5% di atas inflasi, mungkin sudah cukup untuk membawa kembali investor confident ke pasar keuangan Indonesia.
BI juga memastikan bahwa likuiditas rupiah akan cukup di pasar antarbank. Intervensi valas yang menyebabkan rupiah tersedot akan dinetralisir secara terukur oleh bank sentral. BI telah dua kali membuka fasilitas Term Repo, dan juga telah meningkatkan frekuensi fasilitas liquidity swap, walaupun BI meningkatkan suku bunga tapi bank sentral menginginkan bahwa kenaikan suku bunga antarbank dan suku bunga deposito di berbagai tenor tidak meningkat lebih tinggi daripada marjin kenaikan suku bunga kebijakan BI.
Tapi upaya stabilisasi moneter harus dibarengi dengan upaya struktural jangka panjang, membalikkan situasi dari CAD menjadi CA surplus. Hanya dengan peningkatan produk ekspor di berbagai sektor maka ketimpangan supply valas bisa teratasi. Menko Perekonomian sedang membenahi hal ini.
Regulasi kredit perbankan harus kembali diupayakan memberi insentif kepada sektor ekspor. PMA, karena setiap tahun membayar dividen ke luar negeri, maka juga harus diprioritaskan kepada produk yang menghasilkan devisa.
Pariwisata sudah berada pada track yang benar, tapi perlu dibantu percepatannya. Remitansi devisa dari luar negeri juga perlu didorong dengan peningkatan kualitas TKI yang kita kirim ke luar negeri. Dan tidak kalah pentingnya adalah mengurangi ketergantungan dana dari luar negeri dengan memperkuat industri asuransi, dana pensiun, serta fund management, dan memperdalam instrument pasar keuangan di dalam negeri.
*) Artikel dimuat di koran Bisnis Indonesia edisi Senin 28 Mei 2018