Bisnis.com, JAKARTA— Sejumlah emiten kontraktor pelat merah melakukan upaya diversifikasi bisnis untuk mengantisipasi berkurangnya proyek-proyek yang menggunakan sumber dana pemerintah.
Dalam nota keuangan akhir pekan lalu, pemerintah mengalokasikan Rp420,5 triliun untuk infrastruktur dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RABPN) 2019. Kendati masih lebih besar, besaran pertumbuhan 2,4% dari 2018 ke 2019 menjadi yang terendah pada rentang 2015—2019.
Secara berurutan, besaran alokasi anggaran infrastruktur dalam lima tahun terakhir yakni 2015 Rp256,1 triliun, 2016 Rp269,1 triliun, 2017 Rp379,4 triliun, 2018 Rp410,4 triliun, dan 2019 Rp420,5 triliun.
Sejalan dengan kondisi tersebut, Sekretaris Perusahaan PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Shastia Hadiarti mengklaim dampak dari melambatnya pertumbuhan anggaran infrastruktur tidak signifikan bagi perseroan. Pasalnya, komposisi perolehan kontrak baru masih didominasi hasil pengembangan bisnis.
“Target akhir 2018 komposisi proyek yang berasal dari anggaran APBN tidak sampai 15% dari target nilai kontrak baru,” ujarnya kepada Bisnis akhir pekan lalu.
Selain itu, Shastia mengatakan emiten berkode saham WSKT itu akan tetap melakukan pengembangan bisnis. Pihaknya mencontohkan lini usaha realty dan infrastruktur lainnya.
Melalui pengembangan bisnis tersebut, sambungnya, WSKT akan tetap menjaga pertumbuhan ke depan. Apalagi, perseroan juga mengembangkan usaha dengan jalan kolaborasi.
“Seperti yang tengah dilakukan adalah pengembangan lahan oleh PT Waskita Karya Realty dan PT Modernland Realty Tbk. untuk mengembangkan sebuah kawasan baru di Cibitung,” paparnya.
Seperti diketahui, WSKT akan merevisi turun target pendapatan dan kontrak baru 2018. Rencananya, besaran penyusutan target berada di kisaran 10%-15%.
Sampai dengan semester I/2018, kontraktor pelat merah itu mengantongi pendapatan Rp22,89 triliun pada semester I/2018. Pencapaian tersebut naik 47,28% dari Rp15,54 triliun pada semester I/2017.
Sejalan dengan kenaikan pendapatan, beban pokok pendapatan WSKT naik 41,32% secara tahunan pada semester I/2018. Tercatat, beban pokok pendapatan naik dari Rp12,85 triliun menjadi Rp18,17 triliun.
Dengan demikian, laba yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk WSKT tumbuh 133,26% secara tahunan pada semester I/2018. Perseroan membukukan kenaikan laba bersih dari Rp1,28 triliun menjadi Rp2,99 triliun.
Di sisi lain, Direktur Keuangan PT PP (Persero) Tbk. Agus Purbianto mengungkapkan pihaknya akan membidik proyek yang berasal dari belanja modal Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Artinya, emiten berkode saham PTPP tersebut akan banyak memanfaatkan pola sinergi dengan sesama korporasi pelat merah.
“Dari situ dapat mem-feeding anak usaha PTPP,” ujarnya.
Agus mengatakan portofolio hasil pemasaran sampai dengan Juni 2018 masih didominasi proyek dengan sumber dana swasta. Sektor tersebut berkontribusi sebesar 42%.
Selanjutnya, kontribusi terbesar kedua berasal dari proyek BUMN dengan 35%. Posisi terakhir ditempati oleh pemerintah dengan 23%.
Selain sinergi BUMN, Agus mengatakan akan merambah pasar luar negeri. Oleh karena itu, perseroan tengah mengikuti sejumlah tender.
Diberitakan Bisnis sebelumnya, PTPP membidik tender pembangunan pelabuhan di Malaysia dan pembangkit listrik Vietnam. Total nilai kontrak dari dua pekerjaan itu diprediksi mencapai Rp2 triliun.
Adapun, PTPP mengantongi kontrak baru Rp17,60 triliun atau setara dengan 35,91% dari target periode 2018. Saat ini, manajemen masih mempertahankan target kontrak baru yang dipasang Rp49 triliun pada tahun ini.Sementara itu, Direktur Utama PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. Tumiyana sebelumnya mengatakan akan mengincar total ekuitas hingga Rp63 triliun pada 2023. Strategi tersebut untuk memperkuat balance sheet atau neraca keuangan perseroan.
Tumiyana menyatakan perseroan ke depan tidak lagi mengandalkan proyek yang berasal dari pemerintah. Porsi kontrak dengan dana dari pemerintah diproyeksikan hanya 16,7% dari total order book akhir 2018.
Sebagai langkah untuk memperkuat neraca keuangan, WIKA tengah merancang sejumlah strategi mulai dari penerbitan perpetual bond, rights issue di level anak usaha, hingga penawaran umum perdana saham (IPO) anak usaha.
Analis Artha Sekuritas Dennies Christoper Jordan memproyeksikan kinerja keuangan emiten kontraktor pelat merah masih solid hingga akhir tahun. Namun, pihaknya meragukan kondisi serupa dapat terjadi pada 2019.
“Sejauh ini belum ada sentimen positif yang bisa mendorong pertumbuhan emiten kontraktor BUMN 2019,” paparnya.
Dia menilai upaya diversifikasi yang dilakukan masih terbilang minim. Dengan demikian, pendapatan yang dikantongi masih banyak bersumber dari pemerintah.
“Selain itu emiten BUMN konstruksi tidak bisa masuk ke proyek-proyek kecil di bawah Rp100 miliar,” imbuhnya.