Bisnis.com, JAKARTA—Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) III masih menduduki posisi puncak loan to deposit ratio (LDR) tertinggi di industri perbankan. Kendati demikian, pengetatan likuiditas yang juga terjadi di industri perbankan secara umum, diproyeksikan tidak akan mengganggu proyeksi pertumbuhan sampai akhir tahun ini.
Berdasarkan catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pertumbuhan kredit sampai dengan Agustus telah mencapai 12,12% secara tahunan. Adapun pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) tercatat sebesar 6,88% secara tahunan.
Tren pertumbuhan kredit yang masih lebih tinggi dari pada DPK membuat loan to deposits (LDR) perbankan terus mengetat. Berdasarkan catatan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS), LDR perbankan mencapai 93,2% per akhir Agustus.
Jika dilihat berdasarkan ukurannya, Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) III mencatatkan LDR paling tinggi di industri, tepatnya pada level 102,6%. Sementara BUKU IV mencatatkan rasio tersebut pada level 89,2%.
Peningkatan rasio tersebut terjadi beriringan dengan kenaikan suku bunga deposito perbankan, khususnya suku bunga spesial. Doddy Ariefianto, Direktur Group Risiko dan Perekonomian dan Sistem Keuangan LPS menyampaikan, sejak april BUKU III dan BUKU IV mencatatkan rata-rata kenaikan suku bunga deposito sebesar 94 bps dan 119 bps.
“Jadi, kalau kita lihat BI rate naik 150 bps, ini sudah lebih dari 2/3 perjalanan untuk suku bunga special rate. Jadi pass through hampir sudah semua, puncaknya kenaikan suku bunga bank itu di September lah kira-kira, Oktober masih ada kira-kira kita perkirakan,” jelasnya kepada Bisnis, Jumat (12/10).
Doddy menerangkan, dalam fase awal pengetatan kebijakan moneter seperti saat ini bank memang cenderung menaikkan suku bunga deposito lebih cepat daripada suku bunga kredit. Pada fase ini pula margin bunga bersih atau net interest margin (NIM) cenderung akan mengetat.
Kendati demikian, lanjutnya, proses transmisi kenaikan suku bunga acuan terhadap suku bunga kredit perbankan masih akan berlangsung. Diperkirakan, setelah 6—12 bulan transmisi suku bunga kredit baru akan mencapai puncaknya.
“Saat kan kita baru di awal, kita belum tau ke depannya, akan sangat bergantung kepada dolar dengan rupiah, kita kan berusaha mencari variety yang baik dengan [bunga acuan] The Fed yang diperkirakan akan naik terus, itu yang nanti bisa kebijakan moneter merespons lagi,” tuturnya.
Kondisi ini menurutnya, relatif belum berdampak banyak terhadap proyeksi pertumbuhan kredit dan DPK sampai akhir tahun. Dari sisi kredit, menurutnya bank masih cukup hati-hati dalam menaikkan suku bunga sehingga permintaan masih dapat terjaga. Adapun dari sisi dana, meskipun suku bunga naik cepat, kenaikan imbal hasil pada instrumen investasi lain seperti obligasi juga tak akan membuat DPK tumbuh lebih kencang.
“Jadi daya tariknya relatif tidak berubah, kalau saham mungkin, dan beberapa orang wait and see dan kemungkinan akan ke bank, deposito simpanan kan tidak ada transaction cost. Tapi so and so lah, lanskapnya tidak berubah,” katanya.
Di sisi lain, lanjutnya, LPS tetap memproyeksikan pertumbuhan DPK akan mencapai kisaran 7%—8% sampai dengan akhir tahun ini. Proyeksi pertumbuhan tersebut lebih lambat dari kredit yang diperkirakan tumbuh 10%—12% secara tahunan.