Bisnis.com, JAKARTA - Pemodal asing agresif masuk ke Indonesia. Namun, mereka masih kalah bersaing dalam mengaet pundi-pundi margin dalam menjalankan bisnis.
Direktur PT BRI Agroniaga Agus Noorsanto menilai, bank asing yang telah mencaplok bank lokal membutuhkan waktu untuk menguasai pasar. Berbeda dengan bank besar lokal yang mengakuisisi bank kecil.
“Bank lokal yang mengakuisisi itu sudah paham betul kondisi pasar. Mereka biasanya mencari sesuai dengan kebutuhan bisnis mereka,” kata Agus kepada Bisnis, baru-baru ini.
Sementara itu, investor asing melihat potensi dari jumlah penduduk Indonesia yang begitu besar. Belum lagi ditambah inklusi keuangan yang tergolong rendah membuat bisnis di sektor keuangan begitu menggiurkan. “Intinya investor asing yang ambil bank kecil akan butuh waktu untuk melebarkan jaringan,” tambahnya.
Pada kesempatan berbeda, Deputi Komisioner Pengawasan Perbankan OJK Boedi Armanto menjelaskan bahwa kesulitan mencetak laba tidak akan mengganggu pertumbuhan industri perbankan di Tanah Air.
“Bagi investor asing kami lebih menekankan mereka mampu memberikan kontribusi yang optimal kepada perekonomian,” katanya.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai, fungsi bank, baik milik asing maupun lokal, utamanya adalah sebagai lembaga intermediasi, yakni mengumpulkan dana masyarakat dan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit.
Sayangnya, dari fungsi dasar utama ini, ungkapnya, bank asing banyak yang belum melakukan dengan maksimal. Menurutnya, rata-rata bank asing memililiki rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (loan to deposit ratio/LDR) lebih rendah.
“Bank asing utamanya bermain dan mendapatkan keuntungan dari pasar uang dan pendapatan nonbunga. Lalu biasanya bank asing didukung oleh modal kuat,” kata Piter.
Adapun tren negatif yang melanda bank dengan komposisi saham didominasi perusahaan asing terjadi mulai dari bank kecil hingga papan atas. PT Bank Danamon Indonesia Tbk. dan PT Bank CIMB Niaga Tbk. membukan pertumbuhan laba kuartal III/2018 jauh lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
PT Bank Danamon Indonesia Tbk. meraup laba bersih senilai Rp3,2 triliun, naik 0,9% yoy. Meskipun capaian positif pertama tahun ini, hal itu masih belum bisa mendekati kinerja tahun sebelumnya.
Direktur Keuangan Bank Danamon Satinder Ahluwalia sempat mengatakan bahwa stagnansi laba itu utamanya disebabkan oleh strategi konsolidasi internal dalam beberapa tahun terakhir. Satu di antaranya adalah pembersihan dan penagihan kredit mikro Danamon Simpan Pinjam (DSP) dengan total portofolio mencapai Rp3,5 triliun per akhir September 2018.
PT Bank DBS Indonesia juga menjadi salah satu bank pemodal asing yang labanya terus merosot. Pada September 2016, perusahaan yang merupakan bagian dari kelompok DBS Group di Singapura ini mencatat pertumbuhan laba sebanyak 390,1%, menjadi Rp449,1 miliar.
Kemudian pada kuartal III tahun selanjutnya mencetak Rp101,3 miliar atau turun 13,5% yoy. Puncaknya pada kuartal III/2018 pendapatan bersih setelah pajak perusahaan anjlok 97,0% yoy menjadi Rp13,5 miliar.
Presiden Direktur Bank DBS Indonesia Paulus Sutisna menjelaskan bahwa perseroan tengah melakukan strategi jangka panjang. Seiring dengan langkah perusahaan menuju bank digital dan ritel, tentu memberikan dampak terhadap biaya operasional. “Terutama pasca-akuisisi bisnis ritel ANZ,” ujarnya.
Paulus optimistis penurunan pendapatan perusahaan akan memberikan dampak positif pada kemudian hari. Pengembangan bisnis ritel dan perbankan digital akan secara menyeluruh memberikan tambahan pendapatan bunga serta efisiensi beban operasional.
Sementara itu, tidak semua bank milik pemodal asing bernasib buruk. PT Bank of India Indonesia Tbk. terus menjaga perbaikan pendapatan bersih. Setelah merugi pada 2016 dan 2017 karena kredit bermasalah, tahun ini perusahaan mulai membukukan laba.
Direktur Operasional Bank of India Indonesia Ferry Koswara mengatakan bahwa perbaikan rasio kredit bermasalah memberikan dampak signifikan terhadap laba bank. Hal ini sempat membuat BOI Indonesia optimistis menutup tahun dengan laba sebesar Rp60 miliar.
Akan tetapi, melihat capaian kuartal III/2018, di mana laba BOI Indonesia sebesar Rp34,1 miliar, perusahaan pun melakukan revisi. “Ada revisi [target laba]. Akhir tahun sekitar Rp40 miliar sampai Rp50 miliar,” kata Ferry.
Perwakilan Manajemen sekaligus Tim Analis PT Bank Woori Saudara Indonesia 1906 Tbk. atau BWS Rully Nova mengatakan keberadaan bank asing saat ini bukan fokus mengejar dana nasabah yang semakin mahal. Alhasil banyak bank asing lebih mengutamakan dana dari luar yang lebih murah.
“Bank asing juga belum terlalu maksimal mendorong pertumbuhan perbankan secara nasional karena jika melihat segmen bisnis yang digarapnya, mayoritas bank asing lebih banyak menggarap bisnis korporasi yang tidak perlu banyak ekspansi cabang,” katanya.
Presiden Direktur PT Bank OCBC NISP Tbk. Parwati Surjaudaja membenarkan, perlambatan pertumbuhan laba karena penurunan margin bunga bersih (net interest income/NIM).
Bank asal Singapura ini memproyeksi tutup tahun 2018 dengan pertumbuhan laba sebesar 20% yoy. Capaian tersebut lebih rendah dibandingkan dengan 2016 dan 2017, yakni 28,2% yoy dan 22,9% yoy.