Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sejak 2016, LAPSPI Layani 165 Kasus Perbankan

Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) sudah melayani 165 klaim yang diselesaikan melalui skema arbitrase sejak 2016.
Nasabah berjalan di dekat mesin anjungan tunai mandiri, di Jakarta, Senin (18/9/2017)./JIBI-Dwi Prasetya
Nasabah berjalan di dekat mesin anjungan tunai mandiri, di Jakarta, Senin (18/9/2017)./JIBI-Dwi Prasetya

Bisnis.com, JAKARTA — Sejak dibentuk pada 2016, Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) mencatat telah melayani 165 klaim yang diselesaikan melalui skema arbitrase.

Ketua LAPSPI Himawan Subiantoro mengatakan skema arbitrase atau di luar peradilan umum didasarkan pada Internal Dispute Resolution (IDR) terlebih dahulu, sebagaimana diamanatkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 1 Tahun 2014 tentang perlindungan konsumen. Alhasil, LAPSPI telah berhasil menjadi jalur penyelesaian sengketa alternatif selama ini.

"Klien kami, baik dari individu maupun komersil, mengakui keberadaan LAPSPI menjadi penyelesaian klaim relatif lebih terukur biayanya, waktunya singkat, karena kami juga menekankan begitu masuk arbitrase, harus selesai dalam waktu enam bulan," paparnya melalui keterangan resmi yang diterima Bisnis, Sabtu (4/3/2019).

Himawan menambahkan mulai 2020, akan diupayakan pelayanan klaim pelanggan yang terintegrasi, baik dari konsumen perbankan, asuransi, pasar modal, pembiayaan, maupun penjaminan. Pasalnya, saat ini, berbagai produk keuangan sudah mingle, mulai dari Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang diikat dengan asuransi jiwa, bancassurance, maupun unit link.

Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Tirta Segara menuturkan saat ini, ada banyak produk keuangan hibrida, maka LAPSPI nantinya akan melayani enam jenis lembaga keuangan secara terintegrasi sehingga akan ada semacam cash manager.

"Pada 2020, layanan akan jadi satu. Itu juga masa transisi, jadi paling lambat 2022. P2P [Peer-to-Peer] nanti bisa masuk di situ," ujarnya.

Menurut Tirta, market conduct atau pengawasan di industri jasa keuangan lazimnya ada dua jenis. Pertama, prudensial fokus pada rasio seperti Capital Adequacy Ratio (CAR), Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO), Non Performing Loan (NPL), dan sebagainya agar bank sehat, berhati-hati, dan dana deposan terlindungi.

Kedua, market conduct untuk perilaku pelaku pasar, mulai dari desain produk, pemasaran, peluncuran, sampai bahasa iklan diawasi agar konsumen tidak salah persepsi.

"Di satu sisi, konsumen kami lakukan edukasi bahwa setiap produk keuangan itu ada risiko yang harus dipahami. Ada kewajiban seperti ganti password secara berkala agar tak kecurian. Lalu cek saldo rutin," sebutnya.

Lembaga keuangan juga diingatkan untuk tidak semena-mena. Dengan berjalannya pengawasan, diharapkan tak ada lagi klaim ke depannya.

Namun, di negara maju seperti Inggris masih ada klaim Rp400.000-Rp500.000 per tahun, meski sudah ada Financial Conduct Authority (FCA) sendiri.

Penerapan market conduct yang baik akan dapat menekan keinginan para pihak untuk melakukan moral hazard. Pelanggaran terjadi karena terdapat pihak yang bertindak tidak sesuai dengan yang seharusnya dan pada umumnya berkaitan dengan nilai kejujuran atau kepantasan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Annisa Margrit

Topik

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro