Bisnis.com, JAKARTA – Bank Indonesia (BI) disinyalir masih memiliki ruang untuk kembali memangkas Giro Wajib Minimum (GWM). Jika langkah ini diambil, maka pelonggaran likuiditas bagi perbankan diyakini lebih terasa.
Baca Juga
Hal tersebut disampaikan Direktur Kepatuhan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Mahelan Prabantarikso.
“Mungkin BI masih mencari timing yang tepat saja,” katanya kepada Bisnis, Rabu (17/7/2019).
Pada awal Juli 2019, bank sentral memangkas aturan GWM sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 6 persen. Kebijakan ini diproyeksi dapat menambah likuiditas sekitar Rp25 triliun-Rp30 triliun.
Seperti diketahui, kondisi likuiditas perbankan dalam negeri mengetat seiring dengan pertumbuhan kredit yang jauh melampaui Dana Pihak Ketiga (DPK).
Hal itu pun membuat rasio likuiditas atau rasio simpanan terhadap kredit (Loan to Deposit Ratio/LDR) melebihi batas aman. Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), rasio LDR perbankan mencapai 96 persen per Mei 2019.
Adapun BTN termasuk Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) III yang mencatatkan rasio LDR tinggi. Per Juni 2019, rasio LDR bank milik negara ini mencapai 114,24 persen.
Sementara itu, pertumbuhan DPK bank pada 2 bulan terakhir cenderung melambat. DPK BTN tercatat tumbuh 15,89 persen per Juni 2019, di bawah posisi bulan sebelumnya yang naik 16,09 persen secara year-on-year (yoy).
Direktur Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Haru Koesmahargyo pun sebelumnya menyampaikan pemangkasan GWM bisa menambah likuiditas perbankan. Namun, belum cukup kuat menekan rasio LDR industri.
Pada kuartal II/2019, pertumbuhan DPK BRI tidak jauh berbeda dengan kuartal sebelumnya. Pertumbuhannya tercatat sekitar 12-13 persen secara tahunan, sedangkan rasio LDR cenderung tidak bergerak signifikan, yakni antara 92-93 persen.