Bisnis.com, JAKARTA - Lufax, salah satu perusahaan peer to peer lending (P2P) utama di China, belum lama ini menyatakan akan keluar total dari bisnis pinjaman P2P dan beralih ke pinjaman komersial biasa.
Peristiwa ini menjadi luar biasa, karena Lufax bukan sembarang perusahaan. Salah satu pelopor pinjaman P2P tersebut adalah anak perusahaan Ping An, perusahaan asuransi terbesar China dengan aset senilai RMB 7,1 triliun atau 14,5 kuadriliun rupiah.
Didirikan dengan nama Shanghai Lujiazui International Financial pada 2011, di akhir 2018 Lufax memiliki dana kelolaan sekitar RMB 370 miliar atau setara Rp752 triliun di mana 80% berasal dari portofolio pinjaman P2P.
Muncul spekulasi langkah Lufax ini didorong pengetatan regulasi bisnis pinjaman P2P di China serta demi memuluskan langkah Lufax melantai di bursa Hong Kong yang telah tertunda lebih dari setahun. Ping An sebagai pemegang 43% saham Lufax telah merencanakan IPO Lufax dengan target perolehan dana setara US$6 miliar-US$9 miliar mengikuti Zhong An, perusahaan asuransi berbasis digital miliknya yang melakukan IPO di bursa Hong Kong pada September 2017.
Langkah ekstrem Lufax ini menyusul Dianrong, pesaing terdekat Lufax yang telah terlebih dulu merumahkan 2.000 staf, menutup 60 dari 90 gerai, serta mencari injeksi modal baru agar memenuhi modal minimum yang ditetapkan otoritas keuangan China. Pada Juli 2019 lalu Standard Chartered Private Equity dan Affirma Capital setuju melakukan injeksi modal baru bagi Dianrong sebesar US$100 juta agar memenuhi ketentuan modal minimum setara US$74,5 juta yang ditetapkan regulator.
Beijing sejak beberapa tahun terakhir memang telah secara sistematis melakukan penertiban atas bisnis pinjaman P2P. Bisnis pinjaman P2P di China mulai bertumbuh sejak 2011 dan sempat mencapai volume RMB 1,3 triliun (setara Rp2.644 triliun) pada Juni 2018. Pada puncaknya, ada 50 juta investor di bisnis P2P tersebar di sekitar 6.200 platform dan sempat bertumbuh hingga 3 platform baru setiap hari.
Pengetatan oleh otoritas adalah bagian dari upaya regulator mengendalikan shadow banking China yang diperkirakan mencapai setara US$9 triliun. Pengetatan dilakukan melalui kewajiban pelaporan detail seluruh aliran dana dari pihak yang terlibat, standarisasi pencatatan akuntansi serta pemberlakukan standar kliring, disamping peningkatan modal minimum platform P2P.
Langkah otoritas China ini adalah arah ekstrem dari kebijakan sebelumnya, di mana otoritas keuangan secara sengaja tidak melakukan regulasi atas P2P dengan harapan munculnya pendanaan atas UMKM yang sulit beroleh modal.
Bila semula imbal hasil dan tingkat bunga masih berjalan wajar, seiring waktu muncul berbagai anomali yang ditengarai berasal dari migrasi besar-besaran para rentenir ke platform digital. Rendahnya loyalitas pemberi pinjaman pada suatu platform membuat keadaan menjadi makin ruwet seiring meledaknya berbagai pelanggaran dan penyelewengan berbasis pinjaman P2P.
Kasus paling mencolok adalah skandal P2P Ezubao (2015) yang melalui kegiatan ilegal berhasil menggalang dana berdasarkan skema Ponzi hingga sebesar RMB 76 miliar (setara Rp155 triliun) melibatkan hampir 1 juta investor. Ding Ning sebagai CEO Ezubao dinyatakan bersalah dan dihukum penjara seumur hidup.
Kasus hampir serupa terjadi pada QBao.com di mana Xiaolei sebagai CEO dihukum penjara 15 tahun oleh Pengadilan Kota Nanjing akibat skema Ponzi berkedok pinjaman P2P yang berhasil menjaring dana masyarakat hingga RMB 50 miliar (setara Rp101 triliun) sebelum kasusnya ditangani polisi.
Langkah yang diambil otoritas China dapat dikatakan bersifat tangan besi. Contoh paling jelas adalah bagaimana pimpinan Komisi Pengawas Perbankan dan Asuransi China, Guo Shuqing pada Juni 2018 mengingatkan bahwa pemberi pinjaman pada platform P2P dapat kehilangan seluruh uang mereka. Ditegaskan pula bahwa pemerintah tidak akan pernah melakukan bailout platform P2P.
Selain mencoba mengendalikan dari pasokan modal dan mewajibkan pelaporan mendalam serta kecukupan modal seperti yang dilakukan Dianrong, otoritas juga mewajibkan pendaftaran secara lokal atas wilayah operasi, sehingga penertiban dan pengawasan lebih mudah dilakukan secara teritorial.
Kota Hangzhou misalnya, melakukan penertiban dengan mewajibkan platform P2P dengan total pinjaman di bawah RMB 100 juta untuk menurunkan aktivitas promosi serta mengembalikan dana investor paling lambat dalam 12 bulan ke depan.
Konsekuensinya, tentu banyaknya platform pinjaman P2P yang bertumbangan. Saat ini telah mencapai ratusan platform tutup setiap bulan di berbagai kota. Dalam jangka panjang diperkirakan hanya tersisa 50 hingga 100 platform pinjaman P2P di China dengan modal yang lebih kuat dan diawasi ketat lewat pelaporan.
Pengetatan yang dilakukan di China bukan semata fenomena lokal. Inggris, sebagai negara pionir platform pinjaman P2P, juga telah mengetatkan pengawasan. Ada limit partisipasi pemberi pinjaman P2P, selain pembatasan kegiatan pemasaran. Imbalan bunga pun hanya berkisar 5% per tahun dan ada mekanisme diversifikasi, sehingga dana tersebar setidaknya pada 200 skema pinjaman.
Keadaan di Indonesia tentu berbeda dari China dan Inggris tetapi banyak hal dapat dipelajari dari keduanya dalam mengendalikan ekses pertumbuhan platform pinjaman P2P. Memang, masih rendahnya pemahaman masyarakat dan inklusi keuangan yang belum optimal adalah tambahan beban yang harus dihadapi otoritas.
Namun kepercayaan sebagai pondasi sistem keuangan tentu patut dijaga, dan belajar dari apa yang terjadi di China– kendati ekses P2P di Indonesia telah mulai terasa- harga yang harus dibayar masih relatif terjangkau. Mari belajar dari China yang telah membayar dengan teramat mahal.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Selasa (30/7/2019)