Bisnis.com, JAKARTA - Perlambatan dari permintaan kredit baru per kuartal III/2019 dari tiga sektor utama penyumbang terbesar terhadap PDB yakni industri manufaktur, perdagangan, dan konstruksi tidak terlepas dari perlambatan ekonomi domestik serta global.
Seperti diketahui, survei perbankan Bank Indonesia (BI) menunjukkan pelaku usaha cenderung tidak melakukan permintaan kredit baru pada kuartal III/2019.
Data BI menunjukkan bahwa permintaan kredit baru per kuartal III/2019 yang tercermin dari saldo bersih tertimbang (SBT) mencapai 68,9%, lebih rendah dari kuartal sebelumnya yang mencapai 78,3%.
Industri manufaktur tercatat turun dari 55,2% menjadi 49,3%, perdagangan besar dan eceran turun dari 39,5% menjadi 17,2%, sedangkan konstruksi juga tercatat turun dari 67,9% menjadi 35,9%.
Ekonom Indef Abdul Manap Pulungan menilai bahwa dari sisi pertumbuhan ekonomi global cenderung melambat sehingga menekan kredit berorientasi ekspor.
Dari sisi penawaran, bank perlu selektif dalam menjaga kualitas kredit karena apabila tidak bisa menimbulkan peningkatan kredit macet atau non performing loan (NPL) yang merugikan bagi bank.
"Bank juga melihat bahwa sektor riil tidak cukup baik, karena ekonomi nasional hanya tumbuh sekitar 5%," ujar Abdul, Rabu (16/10/2019).
Meski Bank Indonesia (BI) telah memangkas suku bunga acuan menjadi 5,25%, Abdul berpandangan bahwa pengaruh penurunan suku bunga tersebut tidak akan begitu nyata pengaruhnya karena tiga hal.
Pertama, bank masih mengalami likuiditas ketat karena pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang lambat sehingga membuat bank mengerem penyaluran kredit.
Kedua, LDR perbankan masih cukup tinggi, yakni pada angka 94%, Ketiga, pengaruh suku bunga acuan terhadap suku bunga kredit masih minim karena terbentur oleh struktur oligopoli perbankan dimana bank-bank kecil dan sedang cenderung bereaksi saat bank besar bergerak.
Di satu sisi, pemangkasan suku bunga oleh BI diharap dapat menstimulus perekonomian pada 2020 di mana pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada angka 5,3%, sedangkan World Bank dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada angka 5,1%.
Dalam rangka menstimulus perekonomian tahun depan, Abdul menilai kebijakan-kebijakan fiskal tidak akan terlalu efektif mengingat kontribusi belanja pemerintah terhadap PDB masih jauh di bawah konsumsi rumah tangga, PMTB atau investasi, dan ekspor.
Namun, di satu sisi perlu dicatat bahwa ekspor masih belum dapat diandalkan untuk tahun depan karena keadaan perekonomian global yang masih belum kunjung stabil.
Oleh karena itu, Abdul menilai investasi terutama ke sektor industri manufaktur karena investasi di sektor tersebut memiliki multiplier effect yang lebih tinggi dibandingkan dengan sektor lain.
"Manufaktur memiliki dampak ke depan dan belakang industr lainnya, misalnya industri makanan minuman akan memerlukan industri plastik dan industri transportasi untuk distribusi," ujar Abdul.
Namun, perlu dicatat pula dari tahun ke tahun investasi di Indonesia mulai didominasi oleh sektor jasa.
Pada 2017 hingga 2019, tercatat bahwa investor mulai lebih banyak berinvestasi pada sektor jasa dimana pada 2017 tercatat sektor jasa merealisasikan investasi sebesar Rp293,4 triliun atau 42,3% dari target.
Memasuki 2018, investasi pada sektor jasa justru kian mendominasi dimana pada kala itu tercatat realisasi investasinya mencapai Rp367 triliun atau 50,9% dari keseluruhan investasi pada 2018.
Per semester I/2019, sektor jasa pun kian dominan dengan realisasi investasi mencapai Rp223,5 triliun atau 56,5% dari keseluruhan investasi.
Sektor jasa pun dinilai tidak memiliki multiplier effect yang sama dengan industri manufaktur, apalagi mengingat kualitas SDM domestik yang masih belum memadai.