Bisnis.com, JAKARTA — Dukungan atas rencana konsolidasi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang gagal memenuhi ketentuan minimal modal inti hingga akhir tahun juga disampaikan Direktur Utama BPR Palu Lokadana Ali Bahadjai.
Menurut Ali, konsolidasi BPR dibutuhkan demi menyelamatkan bank-bank perkreditan rakyat yang bermodal kecil serta terbatas ruang geraknya. Apalagi, belakangan kerap terdengar adanya penutupan BPR oleh otoritas lantaran dampak minimnya modal sehingga mereka tak bisa menunaikan kewajiban ke nasabah.
“Ya memang kalau pemerintah mengarahkan BPR konsolidasi itu bagus karena BPR kecil kan banyak yang tak memenuhi kewajiban memenuhi modal, kebanyakan kan tidak mampu jadi harus merger,” ujar Ali kepada Bisnis, Senin (25/11/2019).
Ali juga menyebut, BPR yang fokus bergerak di pembiayaan segmen mikro saat ini harus bersaing serius dengan perusahaan teknologi finansial. Jika tak memiliki modal kuat serta model bisnis unik, keberadaan BPR ini akan hilang dengan sendirinya.
Konsolidasi dipercaya bisa membuat BPR-BPR kecil terselamatkan alih-alih lenyap. Dengan merger atau akuisisi, BPR memiliki ruang gerak lebih besar untuk berinovasi dalam menawarkan produk serta layanan ke masyarakat.
Inovasi dibutuhkan jika BPR mau bertahan hidup dan tak tergerus dengan keberadaan tekfin. Selain itu, BPR juga dituntut mau beradaptasi dengan mulai meninggalkan model pembukaan kantor baru untuk memperluas pasar.
“Sudah tidak jamannya lagi, kami harus keluar dari situ untuk mencari jalannya seperti [keberadaan agen] Laku Pandai itu. Tak perlu kami bangun kantor tapi bisa berkantor di mana-mana. Itu [penggunaan agen laku pandai] bisa mengimbangi tekfin,” tuturnya.
Meski mendapat dukungan dari sejumlah pelaku bisnis, namun sikap tegas OJK kepada BPR yang tak memenuhi isi POJK 5/POJK.03/2015 dianggap harus tetap diimbangi dengan kehati-hatian.
OJK
Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Aviliani menyebut, jangan sampai sanksi yang nantinya diberikan kepada BPR pelanggar beleid modal minimum menimbulkan efek ke mana-mana.
Menurutnya, OJK harus mempertimbangkan kondisi ekonomi nasional sebelum menerapkan sanksi ke BPR yang tak memenuhi rasio modal minimum hi ga akhir 2019.
"Menurut saya pada akhirnya mereka [BPR] akan konsolidasi kalau tak mampu lagi tambah modal. Kalau mereka punya komitmen dan hanya butuh waktu [untuk tambah modal] saya rasa nggak ada masalah, yang penting jangan sampai mereka mati, nggak mampu, dan mewabah ke yang lain jadi sistemik," kata Aviliani di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Perbanas menilai kendala yang dihadapi mayoritas BPR saat ini, terkait persaingan dengan tekfin, merupakan hal wajar sebagai dampak kemajuan teknologi dan penetrasi dunia digital. Karena itu, BPR disebutnya harus cepat beradaptasi dalam operasional dengan lebih mengandalkan digitalisasi layanan.
Menurut Aviliani, mau tak mau BPR harus berkonsolidasi atau kerjasama dengan perusahaan tekfin di tempat mereka beroperasi. Hal ini diyakini bisa membuat kinerja BPR terjaga positif.
"Banyak yang mau sebenarnya [tekfin bekerjasama dengan BPR]. Cuma kan BPR itu merasa kalau mereka bersama-sama ini sharing cost and revenue, memberatkan. Tapi era ke depan harusnya berekosistem karena tanpa ekosistem mereka tak bisa hidup dengan baik," tuturnya.