Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pak Jokowi, Perusahaan Asuransi Butuh Kepastian Ini Sebelum Tambah Investasi

Terdapat lima kendala yang menghambat industri asuransi untuk tumbuh lebih besar.
Karryawan beraktivitas di dekat logo asuransi jiwa di Jakarta, Selasa (28/1/2020). Bisnis/Himawan L Nugraha
Karryawan beraktivitas di dekat logo asuransi jiwa di Jakarta, Selasa (28/1/2020). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Joko Widodo atau Jokowi diingatkan membenahi lima sisi regulasi agar industri asuransi Tanah Air dapat mendatangkan investasi.

Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Budi Tampubolon menjelaskan kebijakan yang paling menghambat pertumbuhan industri asuransi yakni perbedaan perlakuan pajak terhadap investasi.

"Terdapat perbedaan perlakuan antara pajak obligasi untuk perusahaan asuransi dengan reksa dana," ujar Budi dalam jawaban tertulis ke Komisi XI DPR RI, Rabu (5/2/2020).

Rekomendasi dari asosiasi ini akan digunakan menjadi bahan keputusan DPR RI untuk membenahi industri asuransi yang harus dijalankan pemerintah.

Permasalahan selanjutnya yang harus segera dibenahi oleh pemerintah yakni kepemilikan asing maksimal 80 persen untuk perusahaan asuransi. Sementara 20 persen lainnya harus diperoleh dari badan hukum atau warga negara Indonesia. Dengan besarnya modal disetorkan untuk mendirikan asuransi baru, asosiasi menilai kebijakan ini menyulitkan karena sangat minim pengusaha lokal yang tertarik dengan bisnis asuransi.

Hambatan lain yang harus dibenahi pemerintah yakni pemberlakuan international financial reporting standards (IFRS) 17. Beleid ini  dinilai menghambat pertumbuhan. Ketua Umum AAUI Dadang Sukresna menjelaskan bahwa pihaknya sudah mengajukan pengunduran implementasi IFRS 17 hingga 2025 kepada Dewab Standar Akuntansi Keuangan (DSAK).

Standar pelaporan IFRS 17 mengharuskan perusahaan asuransi untuk menggunakan tingkat diskonto saat ini untuk menilai kewajiban. Banyak responden menilai penerapan tersebut akan memakan investasi yang besar dan merupakan hal yang tidak perlu. 

Para pelaku asuransi khawatir dengan adanya perubahan ini akan mempersulit perusahaan menghadapi perubahan yang juga terjadi pada perilaku konsumen seiring dengan perkembangan teknolog

Industri juga meminta pembatalan pemisahan unit usaha syariah atau spin off pada 2024. Permintaan ini dikarenakan bisnis asuransi syariah di Indonesia dinilai masih kecil skala bisnisnya. Akibatnya pemisahan ini akan menyedot modal dari induk, penambahan modal bagi unit yang kecil, serta pemborosan akibat pengadaan jajaran manajemen baru.

"Hal tersebut dikarenakan masih diperdebatkan penetapannya untuk perusahaan perasuransian syariah dan investor saat ini masih cenderung tertarik dengan investasi langsung dengan return yang jelas dan cepat," jelas Dadang.

Adapun, kebijakan terakhir yang menghambat investasi sektor asuransi terkait dengan undang-undang penjaminan. Dalam Undang-Undang (UU) 1/2016 tertulis bahwa asuransi umum tidak diperbolehkan untuk mengeluarkan surety bond, tetapi dalam UU 40/2014 tertulis bahwa perluasan surety bond merupakan produk asuransi umum.

AAUI sedang mengajukan juducial review terhadap UU Penjaminan ke Mahkamah Konstitusi. Dadang menjelaskan bahwa pihaknya membutuhkan kejelasan regulasi untuk memasarkan produk surety bond.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper