Bisnis.com, JAKARTA - Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai penempatan dana pemerintah ke bank peserta atau bank jangkar dalam membantu perbankan memberikan keringanan kredit bakal segera dirilis.
PMK tersebut merupakan aturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) No.23/2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan dalam hal ini bukan berarti pemerintah tidak melakukan operasi likuiditas, tetapi menempatkan dana untuk membantu bank memberikan keringanan kredit atau memberikan tambahan kredit modal kerja kepada debitur usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
"PMK itu sudah selesai dan siap diberi nomor untuk diundangkan. Begitu selesai libur Lebaran, bisa operasional," ujarnya Rabu (20/5/2020).
Menurutnya, yang paling penting dari kebijakan penempatan dana tersebut adalah pemerintah membantu para pelaku UMKM melalui subsidi bunga. Pemerintah pun memantau jika sektor perbankan dalam negeri memerlukan dukungan untuk merestrukturisasi kredit UMKM.
"Kalau bank butuh, baru ada penempatan dana untuk dukung bank memberikan restrukturisasi [kredit] ke UMKM," jelasnya.
Adapun, penempatan dana ke perbankan ini diperkirakan senilai Rp87,59 triliun. Namun, Suahasil menegaskan angka ini adalah perkiraan dan belum pasti.
"Ini bentuk kesiapsiagaan saja dari pemerintah," katanya.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) untuk mengatur penempatan dana pada bank pelaksana restrukturisasi kredit UMKM atau bank jangkar.
Bank jangkar atau bank peserta nantinya akan ditetapkan oleh Menteri berdasarkan informasi Ketua Dewan Komisioner OJK. Syarat bank jangkar yang telah ditetapkan yaitu berkategori sehat, masuk dalam 15 bank beraset terbesar, dan 51 persen sahamnya dimiliki WNI dengan berbadan hukum Indonesia.