Bisnis.com, JAKARTA — Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia atau KPCDI mendaftarkan hak uji materi terhadap Peraturan Presiden Nomor 64/2020 tentang Jaminan Kesehatan ke Mahkamah Agung.
Kuasa Hukum KPCDI Rusdianto Matulatuwa menjelaskan bahwa pihaknya mendaftarkan uji materi itu ke Mahkamah Agung (MA) pada Rabu (20/5/2020) siang.
Gugatan itu diajukan untuk mengupayakan kepentingan para pasien cuci darah dan masyarakat Indonesia secara umum atas kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
"Ya, jam 13.00 WIB ini Insya Allah akan mendaftarkan uji materinya, semoga dimudahkan. Yang akan mendaftarkan ke MA saya dengan Pak Tony Samosir [Ketua Umum KPCDI]," ujar Rusdianto kepada Bisnis, Rabu (20/5/2020).
Dia menilai bahwa kenaikan iuran tersebut tidak memiliki empati karena terjadi dalam keadaan yang serba sulit, yakni di tengah pandemi virus corona. Kenaikan itu pun dinilai tidak sesuai dengan apa yang dimaknai dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang BPJS.
Melalui uji materi tersebut, KPCDI akan menguji apakah kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut sudah sesuai dengan tingkat perekonomian masyarakat dalam kondisi saat ini. Rusdianto menilai bahwa semestinya pemerintah mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat saat ini.
Baca Juga
Dia juga mengingatkan pemerintah yang seharusnya mendengarkan pendapat MA dalam putusan gugatan Perpres 75/2019, bahwa akar masalah dari BPJS Kesehatan adalah manajemen atau tata kelola secara keseluruhan.
“Padahal BPJS sudah berulang kali disuntikkan dana, tapi tetap defisit. Untuk itu perbaiki dulu internal manajemen mereka, kualitas layanan, barulah kita berbicara angka iuran. Karena meski iuran naik tiap tahun, kami pastikan akan tetap defisit selama tidak memperbaiki tata kelola menajemen,” ujar Rusdianto.
Dia menegaskan bahwa gugatan uji materi tersebut dilakukan untuk menilai kesesuaian kenaikan iuran dengan tanggungjawab BPJS Kesehatan dalam memberikan pelayanan kepada seluruh pesertanya.
“Harus bisa dibuktikan adanya perubahan perbaikan pelayanan, termasuk hak-hak peserta dalam mengakses obat dan pengobatan dengan mudah,” ujarnya.