Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OJK Diharapkan Segera Merealisasikan Relaksasi Lanjutan Soal Restrukturisasi Kredit

Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani mengatakan pandemi virus corona masih akan berlangsung sampai tahun depan, yang lebih tepatnya sampai vaksin benar-benar ditemukan.
Karyawan berada di dekat logo Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta, Jumat (17/1/2020). Bisnis/Abdullah Azzam
Karyawan berada di dekat logo Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta, Jumat (17/1/2020). Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA - Rencana pelonggaran kebijakan relaksasi lanjutan mengenai jangka waktu restrukturisasi hingga batas minimal pemberian kredit (BMPK) mendapat apresiasi positif dari sejumlah ekonom. 

Penambahan relaksasi ini diharapkan segera terwujud agar memberikan ruang bagi perbankan untuk mendukung keberlangsungan dunia usaha di dalam negeri.

Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani mengatakan pandemi virus corona masih akan berlangsung sampai tahun depan, yang lebih tepatnya sampai vaksin benar-benar ditemukan. .

"Saya rasa memang cukup baik, dan memang perlu dilakukan," katanya kepada Bisnis, Selasa (7/7/2020).

Dia menjelaskan perbankan saat ini baru mulai melihat penurunan permintaan relaskasasi pada awal paruh kedua tahun ini. Namun, permintaan restrukturisasi masih akan sangat diperlukan khsusnya bagi debitur yang mendapat pelonggaran berupa perpanjang dan diunduran cicilan.

"Menurut saya, minimal hingga 2022, karena pelaku usaha baru bisa pick up di waktu itu. Untuk saat ini masih belum bisa kembali beroperasi 100%, dan banyak sekali ketidakpastian," ujarnya.

Untuk BMPK, menurutnya, relaksasi ini juga diperlukan khususnya bagi bank untuk dapat terus mendukung pembiayaan kepada korporasi yang selalu membutuhkan top up modal.

"Batasan BMPK itu kan sekitar 20%, tetapi untuk peningkatannya itu nanti bisa beda-beda sesuai perhitungan nanti. Kebutuhan BMPK untuk setiap segmen kredit juga beda-beda," ujarnya.

Senada, Senior Faculty LPPI Amin Nurdin mengatakan relaksasi akan banyak membawa kemudahan baik bagi bank maupun industri riil.

"Positif, karena memang akan memberi ruang gerak lebih pada dunia usaha. Bank pun bisa menyelamatkan likuiditas, rasio kredit bermasalah, rasio kecukupan modal, sekaligus reputasi baiknya," ujarnya.

Hanya saja, Amin mengingatkan besarnya potensi moral hazard yang dapat terjadi akibat relaksasi yang berlebihan ini.

"Akan banyak debitur yang akan berupaya untuk memanfaatkan hal ini meski tak benar-benar membutuhkannya. Ini pun akan sangat membuat bank kewalahan di kemudian hari. Potensi ini saya rasa besar."

Amin pun berharap OJK dapat memastikan relaksasii ini aman dari potensi tersebut agar pasar tidak kembali bergejolak.

Setali tiga uang, Chief Economist Bank BNI Ryan Kiryanto menyebutkan relaksasi lanjutan mengenai jangka waktu restrukturisasi hingga batas minimal pemberian kredit sudah tepat lantaran pelonggaran kegiatan ekonomi yang sudah mulai masif.

Tidak hanya karena kegiatan ekonomi sudah mulai membaik, tetapi juga banyak kementerian/lembaga yang ekspansif dalam memberi relaksasi.

"Saya kira itu langkah maju. Artinya positive action OJK untuk bersama-sama dengan Kementerian Keungan dan Bank Indonesia. Kan juga ada komitmen burden sharing juga," tuturnya. 

Dia menyebutkan beberapa sektor industri saat ini masih memiliki potensi pertumbuhan meski ditekan pandemi.

"Mereka biasanya terbentur BMPK, maka perlu direlaksasi dan memang ini akan mendorong kegiatan ekonomi," katanya.

Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menyebutkan pihaknya sedang menyiapkan berbagai kemungkinan untuk mengeluarkan kebijakan relaksasi lanjutan mengenai jangka waktu restrukturisasi hingga batas minimal pemberian kredit.

Selain itu, kebijakan relaksasi lanjutan tersebut juga berkaitan dengan dukungan kepada sektor ekonomi yang menjadi pengungkit bergerak kembalinya pertumbuhan ekonomi.

OJK telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang diawali dengan relaksasi restrukturisasi kredit. Realisasi restrukturisasi hingga posisi 29 Juni 2020 mencapai Rp740,79 triliun untuk 6,56 juta debitur UMKM dan non-UMKM.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : M. Richard
Editor : Ropesta Sitorus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper