Kredit Tanpa Agunan (KTA) adalah salah satu produk andalan perbankan. Kredit ini adalah personal loan bagi pengusaha mikro, pekerja sektor informal, dan para karyawan serta profesional mandiri.
Data yang penulis ketahui, total KTA saat ini mencapai Rp142 triliun. Perkiraan total kredit UMKM sebesar Rp1.000 triliun. Artinya sebesar 14,2% bisnis utama perbankan berasal dari produk KTA yang digemari masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah.
Di sisi lain banyak temuan di lapangan terkait praktek bisnis KTA yang luput dari amatan, terutama di tengah pandemi Covid-19 saat ini. Salah satu karakteristik bisnis KTA adalah kredit ini berbunga tinggi. Kredit berbunga tinggi ini berawal dari paradigma high risk, high yield. Bagi bank, bunga KTA yang tinggi adalah bagian dari pengelolaan risiko kredit. Sebuah upaya menekan lonjakan non-performing loan (NPL) dari bisnis KTA yang berisiko.
Paradigma ini sebetulnya dapat diterima tetapi prakteknya bank sering tidak mengkomunikasikan suku bunga KTA yang tinggi kepada nasabah. Saat bank menawarkan KTA dengan bunga flat, setelah KTA disetujui, bunga yang dibayarkan nasabah ke bank ternyata jauh lebih tinggi setiap bulannya.
Itu yang dialami Pak Tikno (bukan nama sebenarnya), pedagang nasi goreng yang saya kenal. Dia menjadi nasabah KTA sebuah bank swasta. Awalnya dia mengajukan KTA selama 3 tahun (36 bulan) dan disetujui nilainya Rp17 juta. Mulai November 2019 hingga Oktober 2022. Dia setuju karena sanggup membayar bunga 1,9% flat per bulan. Baginya, itu berarti dalam 1 tahun (12 bulan) harus membayar bunga Rp3.876.000 (atau Rp323.000 per bulan).
Berapa bunga sesungguhnya yang dibayar dalam 12 bulan pertama? Dari tabel yang diberikan bank ke Pak Tikno, ternyata dalam 12 bulan pertama harus membayar bunga KTA Rp6.393.939, jauh di atas bunga flat yang dibayangkannya. Itulah yang disebut ‘bunga efektif’. Dari hitungan ini, bunga bank sesungguhnya di tahun pertama adalah 38% atau rata-rata 3,2% per bulan (bukan 1,9% seperti janji bank).
Pandemi telah membuat usaha Pak Tikno terhenti. Tak ada lagi penghasilan. Semula pembayaran cicilan lancar. Sejak November 2019 hingga Maret 2020 total cicilan dibayar hampir Rp6 juta atau 35% dari nilai KTA. Pada April cicilan mulai tersendat dan pada Mei sudah masuk kategori bermasalah. Bank terus mengejarnya. Saat usahanya terhenti, dia membayar cicilan April dan Mei 2020 dari dana tabungannya.
Komplikasi pun terjadi saat cicilan KTA tersendat. Pak Tikno kena denda keterlambatan 6% dari pembayaran bulanan atau Rp250.000 (dipilih mana yang lebih tinggi). Dia sempat terlambat membayar empat kali. Dendanya mencapai Rp1 juta dan itu menambah jumlah pokok pinjaman dari Rp17 juta kini menjadi Rp18 juta. Bagaimana bisa? Jumlah pokok pinjaman tidak berkurang, malah bertambah.
Seyogyanya bank peka dalam situasi krisis seperti ini. Terutama terhadap nasabah yang beritikad baik. Jalan tengahnya, berikan relaksasi dan lakukan restrukturisasi KTA. Jika misalnya nasabah sanggup membayar Rp400.000 per bulan dan pokok pinjamannya tinggal Rp16 juta, bank hendaknya menyetujui memberi relaksasi selama 6-9 bulan tanpa menghitung bunga mengingat bank sudah menikmati pembayaran Rp6 juta tanpa pokok pinjaman berkurang.
Jalan lainnya, bank dapat menghitung kembali perhitungan bunga KTA berdasarkan cost of fund perbankan. Jika cost of fund misalnya 4% dan biaya operasional 3%, total cost mencapai 7%. Dengan menetapkan suku bunga 14% itu adalah keputusan yang simpatik bagi nasabah. Bank dapat menurunkan bunga efektif tahun pertama dari semula 38% menjadi 14% selama 6-9 bulan. Bank masih mencetak margin 7% dari bisnis KTA dan debitur lancar.
Poin apa yang bisa dipelajari dari kasus bisnis KTA tersebut? Pertama, perbankan hendaknya lebih transparan dalam hal perhitungan bunga kredit. Penawaran ‘bunga flat’ cenderung menyesatkan.
Bank perlu mengedukasi nasabah tentang ‘bunga efektif’. Informasi yang tidak utuh dan asimetris berpotensi melanggar peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Pasal 4 Ayat 1.
Kedua, bank hendaknya dapat menghitung kembali jumlah denda yang reasonable bagi debitur KTA yang umumnya adalah pelaku usaha mikro atau individu berpenghasilan rendah. Ketiga, bank hendaknya menghapus ketentuan soal potongan angsuran pertama di muka, sehingga jumlah KTA yang diterima nasabah jumlahnya tidak sesuai dengan nilai KTA yang disetujui. Ini adalah siasat untuk meningkatkan bunga efektif semata.
Praktik yang seolah lazim dilakukan, yakni jika nilai KTA yang disetujui Rp17 juta, sesungguhnya yang ditransfer hanya Rp16 juta, karena dikurangi angsuran pertama dan biaya-biaya lain.
Keempat, bank hendaknya menghapus ketentuan membayar biaya pembatalan atau pelunasan dipercepat, yakni 8% dari sisa pinjaman dan biaya lainnya. Bagaimana mau mempercepat jika dengan mempercepat pelunasan justru jumlah uang yang harus dibayarkan menjadi lebih besar?
Terkesan bank seperti memberi ‘denda’ bagi nasabah yang ingin mempercepat pelunasan. Bukankah di masa pandemi seperti ini bank seyogyanya ‘menyambut baik’ itikad nasabah yang memprioritaskan dananya untuk pelunasan pinjaman?
Di saat kondisi pandemi Covid-19 ini tentu banyak nasabah KTA, baik dari kalangan pengusaha mikro yang terhambat usahanya dan para pekerja yang terkena PHK, sehingga cicilan KTA tersendat. Bank hendaknya memberikan program relaksasi sesuai arahan dan peraturan OJK serta mengambil langkah kebijakan lain yang lebih peduli kepada debitur.
Saatnya perbankan memperbaiki dan mengkaji ulang bisnis KTA ini dengan bisnis model yang lebih simpatik dan lebih ramah. Model bisnis yang sama yang juga dinantikan oleh jutaan nasabah produk kredit atau leasing perbankan lainnya.
Masa pandemi ini hendaknya menjadi momen bagi bank untuk mengambil langkah ‘new normal’ dalam melayani nasabah, baik nasabah pinjaman (credit) maupun nasabah simpanan (savings), yakni langkah kebersamaan dan kepedulian untuk tumbuh bersama bisnis dan kondisi keuangan nasabah berdasarkan win-win solution.