Bisnis.com, JAKARTA — Industri asuransi dinilai masih mencari bentuk sistem pendidikan bagi sumber daya manusia (SDM). Pengembangan kualitas pekerja secara informal dinilai masih lebih diandalkan ketimbang pendidikan formal, sehingga perlu menjadi perhatian.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu menjelaskan bahwa saat ini pengembangan kapasitas SDM dilakukan oleh setiap perusahaan melalui program diklat. Selain itu, terdapat sejumlah program eksternal seperti kerja sama pelatihan dengan lembaga atau negara lain.
Menurutnya, pendidikan informal melalui pelatihan di dalam negeri maupun luar negeri kerap diandalkan oleh perusahaan-perusahaan asuransi karena dapat membawa ilmu yang lebih aplikatif bagi perusahaan. Sayangnya, hal tersebut kurang menonjol dalam pelatihan formal di internal industri asuransi dalam negeri.
"Sejauh ini memang saya akui industri ini masih mencari bentuk pendidikan, kan kebanyakan ilmunya berasal dari luar negeri. Asuransi umum, jiwa, syariah, juga reasuransi, dari luar negeri semua pendidikannya, di dalam negeri sendiri belum ada acuan khusus," ujar Togar kepada Bisnis, Senin (10/8/2020).
Selain itu, Togar pun menilai bahwa industri asuransi kerap belum begitu dipahami oleh masyarakat luas, sehingga pelatihan-pelatihan dan pendidikan formal yang ada kerap tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Hal tersebut di antaranya terjadi terhadap sarjana-sarjana muda yang hendak berkecimpung di industri asuransi.
Untuk itu, menurutnya, materi mengenai industri asuransi atau lembaga jasa keuangan perlu dimasukkan ke dalam kurikulum formal pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga universitas. Hal tersebut dapat memberikan manfaat dalam berbagai aspek.
Baca Juga
Togar menilai bahwa adanya materi asuransi dalam kurikulum dapat menjembatani pemahaman calon tenaga kerja saat memasuki dunia asuransi. Selain itu, masyarakat luas pun dapat memahami konsep asuransi sehingga tingkat proteksi dan penetrasi asuransi dapat meningkat.
Pemahaman dua sisi itu menurutnya bukan hanya harus diintervensi pemerintah melalui penambahan materi asuransi ke dalam kurikulum pendidikan, tetapi juga oleh perusahaan-perusahaan asuransi itu sendiri. Industri perlu meningkatkan pemahaman masyarakat atas proteksi.
"Ada juga tanggung jawab sosial atas pendidikan dari industri ini kepada masyarakat," ujarnya.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 67/2016 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Asuransi Syariah, Reasuransi, dan Reasuransi Syariah mewajibkan perusahaan asuransi untuk menyelenggarakan program pengembangan kemampuan dan pengetahuan bagi pegawainya.
Aturan tersebut mengubah Keputusan Menteri Keuangan (KMK) 426/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, yang mengatur bahwa perusahaan wajib menganggarkan dana minimal 5% dari jumlah biaya karyawan untuk pendidikan SDM.
Menurut Togar, hal tersebut merupakan langkah yang baik karena dapat mendorong setiap perusahaan untuk mengembangkan kualitas karyawannya. Namun, isu standardisasi menjadi perhatian tersendiri sehingga perlu adanya pemahaman yang kuat terlebih dahulu terhadap industri asuransi.