Bisnis.com, JAKARTA - Rasio kredit bermasalah industri perbankan saat ini masih terjaga karena adanya restrukturisasi. Namun, seiring dengan akan berakhirnya restrukturisasi pada Maret 2021, kenaikan rasio kredit bermasalah akan membayangi industri perbankan.
Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga akhir Juni 2020 NPL perbankan telah mencapai 3,11% (gross) dan 1,13% (net).
Ketua Umum Perbanas Kartika Wirjoatmodjo mengatakan industri perbankan ikut terdampak pandemi Covid-19 karena kemampuan bayar nasabah ikut menurun sejak Maret 2020. Perbankan pun menanggapi penurunan kemampuan bayar nasabah ini dengan melakukan restrukturisasi yang berbentuk penundaan bayar pokok dan bunga kredit.
Dia menuturkan, permintaan restrukturisasi kredit sudah mulai melandai yang diikuti dengan pertumbuhan kredit seiring dengan masa transisi pelonggaran PSBB menuju new normal. Hal ini tampak realisasi penyaluran kredit oleh perbankan yang sudah mencapai Rp45 triliun dari jumlah penempatan dana pemerintah di Bank BUMN senilai Rp30 triliun.
"Ini sinyal positif, kita mulai dari mood restrukturisasi, kini mulai masuk ke ekpansi kredit secara selektif," katanya, Kamis (13/8/2020) malam.
Menurutnya, kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah sejauh ini cukup membantu perbankan mengatasi gangguan jangka pendek. Namun, industri perbankan perlu mewaspadai adanya kemungkinan penurunan kualitas kredit yang berlanjut.
Baca Juga
Saat ini, OJK masih mengkaji rencana perpanjangaan kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit. Akan tetapi, jika kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit tidak lagi diperpanjang, maka pada Maret tahun 2021, besaran rasio kredit bermasalah secara real akan terlihat.
"Baru pada kuartal I/2021 nanti NPL real akan terlihat dari restrukturisasi, saat ini NPL terkendali karena restrukturisasi efektif. Tahun depan, baru akan berdampak akhir pada pencadangan," katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Penelitian dan Pengaturan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Anung Herlianto mengatakan, setiap terjadi krisis ekonomi, kenaikan rasio kredit bermasalah pasti akan membayangi perbankan. Hanya saja, meskipun rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) secara gross mengalami kenaikan, NPL net perbankan masih mampu terjaga di level 1,13%.
Menurutnya, terjaganya rasio NPL net tetap rendah di tengah kenaikan NPL gross dapat terjadi lantaran bank sudah lebih dulu mempertebal pencadangannya di awal tahun 2020. Padahal, kebijakan restrukturisasi seharusnya membuat bank tidak perlu membentuk pencadangan.
"Sebelum jatuh bank sudah berikan ruang bernapas bagi debitur, ternyata bank konsisten memitigasi itu. Meskipun NPL gross meningkat tertinggi dalam tahun ini, NPL net stabil di 1,13%," katanya.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, dalam kondisi krisis akibat pandemi, indikator yang paling pertama terancam adalah potensi kenaikan NPL. Kebijakan restrukturisasi dari OJK memberi ruang pada bank untuk menahan laju NPL.
Bahkan, realisasi NPL gross yang sebesar 3,11% pada Juni 2020 dinilai tidak mengalami kenaikan signifikan dibandingkan posisi Februari 2020 yang sebesar 2,8%. "Jadi lonjakan NPL rendah apalagi kalau lihat NPL net," katanya.