Bisnis.com, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang No.23/1999 tentang Bank Indonesia yang diinisiasi DPR akan membawa banyak perombakan dalam otoritas moneter Tanah Air.
Dalam draf RUU BI yang diterima Bisnis, Jumat (18/9/2020), tugas bank sentral akan diperluas, tidak hanya menjaga kestabilan nilai rupiah, tetapi juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan.
Selain itu, dalam pasal 34 RUU ini tercantum pengawasan bank yang selama ini dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dialihkan kepada BI, selambat-lambatnya pada 31 Desember 2023.
Sementara itu, salah satu poin krusial dalam RUU tersebut, yaitu ketentuan pasal 75. Dewan moneter yang menjabat saat ini akan diberhentikan karena perubahan kebijakan moneter yang bersifat mendesak.
"Mengingat perubahan kebijakan moneter bersifat sangat mendasar diperlukan perubahan Dewan Gubernur," tulis pasal 75 ayat 1 RUU tersebut.
Kemudian di pasal 2, disebutkan bahwa dengan berlakunya UU ini, maka Dewan Gubernur Bank Indonesia diberhentikan dan akan ditunjuk dengan pelaksana Dewan Gubernur.
Baca Juga
Adapun, selambat-lambatnya satu tahun sejak payung hukum tersebut berlaku, Presiden akan mengusulkan Dewan Gubernur untuk masa jabatan 5 tahun selanjutnya.
DPR juga mengusulkan dibentuknya Dewan Kebijakan Ekonomi Makro. Dalam RUU pasal 9A, tertulis Dewan Kebijakan Ekonomi Makro membantu pemerintah dan Bank Indonesia dalam merencanakan dan menetapkan kebijakan moneter.
Dewan Kebijakan Ekonomi Makro memimpin, mengkoordinasikan, dan mengarahkan kebijakan moneter sejalan kebijakan umum Pemerintah di bidang perekonomian.
Dewan Kebijakan Ekonomi Makro ini terdiri dari 5 anggota, yaitu Menteri Keuangan dan 1 orang menteri yang membidangi perencanaan pembangunan nasional, Gubernur BI dan Deputi Gubernur Senior BI, serta Ketua Dewan Komisioner OJK.
Dalam pasal 9A ayat 4, disebutkan jika dipandang perlu, pemerintah dapat menambah beberapa orang menteri sebagai anggota penasehat kepada Dewan Kebijakan Ekonomi Makro.
Adapun, Dewan Kebijakan Ekonomi makro tersebut merupakan usulan Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Anggito Abimanyu. Hal ini disampaikan saat rapat dengar pendapat umum di Badan Legislasi (Baleg) DPR pada Selasa (15/9/2020).
Menurut Anggito, meski Bank Indonesia bersifat independen, kebijakan moneter tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya sinkronisasi, termasuk dari sisi pembangunan jangka pendek dan jangka panjang.
Oleh karena itu, peran dan tujuan BI seharusnya bisa diperluas. Tidak hanya menjaga stabilitas makroekonomi, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pengelolaan makroprudensial, dukungan pada sektor fiskal, dan mikroprudensial, serta menciptakan lapangan kerja.
"Tata kelola ini dimungknkan. Saya mengusulkan dibentuk Dewan Kebijakan Ekonomi Makro, bukan Dewan Moneter, supaya tidak disalahartikan sebagai intervensi pemerintah ke Bank Indonesia," katanya.