Bisnis.com, JAKARTA - Perusahaan konsultan dan jasa audit, tax, and advisory Grant Thornton menilai kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) bakal mendorong investor melirik perusahaan rintisan (startup) yang bergerak di sektor pendidikan.
Kurniawan Tjoetiar, Legal Partner Grant Thornton Indonesia, mengungkap bahwa pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam menyediakan layanan pendidikan sebagai aktivitas belajar di rumah memiliki potensi yang menjanjikan.
Ada sekitar 68 juta siswa dari tingkat prasekolah hingga perguruan tinggi yang membutuhkan teknologi untuk belajar. Bahkan secara global, ada 1,5 miliar siswa di 188 negara tidak dapat menghadiri kelas. Disrupsi pendidikan seperti ini terakhir kali terjadi saat Perang Dunia II. Hal ini bisa menjadi gambaran yang sama dengan penerapan kembali PSBB yang lebih ketat salah satunya di DKI Jakarta sebagai bentuk rem darurat penyebaran virus Covid-19.
Upaya yang dijalankan dalam penekanan penyebaran virus Covid-19 ini telah membuat lebih dari 530.000 sekolah di Indonesia ditutup atau diberhentikan sementara aktivitasnya.
"Melihat perkembangan sektor EduTech di Indonesia tentu terlihat prospek yang sangat menjanjikan. Bagi investor yang menginvestasikan dana di sektor ini perlu juga mempertimbangkan risiko yang dapat menyertai seperti regulasi, sikus pendanaan dan bagaimana entitas bersaing dengan kompetitor," ujar Kurniawan dalam keterangan resminya, Rabu (23/9/2020).
Peluang menjanjikan ini muncul karena penggunaan EduTech akan terus dibutuhkan oleh siswa dari berbagai tingkat. Tentunya teknologi seperti Internet, ponsel pintar, dan laptop menjadi keharusan dalam mendukung pembelajaran jarak jauh. Buktinya, salah satu penyedia jasa telekomunikasi terbesar di Indonesia mencatat adanya peningkatan arus broadband sebesar 16% selama pandemi Covid-19.
Baca Juga
Selain itu, bukti lain moncernya EduTech tampak ketika jeda pembiayaan pada bulan Maret, di mana investor dari berbagai negara kembali menggelontorkan dana bagi EduTech dan melambungkan beberapa startup bahkan hingga melewati nilai valuasi USD1 miliar.
"Investor sengaja fokus pada entitas yang memasarkan alat dan layanan langsung ke konsumen (DTC) dan bukan ke institusi. Tiga sektor EduTech DTC yang memperoleh investasi paling besar adalah bimbingan belajar online, bantuan dan aplikasi digital, serta edutainment," tambahnya.
Pada bulan Juni lalu, pemain EduTech di Indonesia sendiri sudah mencapai 44, dan diperkirakan masih akan terus bertambah.
Kurniawan mencontohkan beberapa startup EduTech yang semakin terkenal di Indonesia semenjak peranannya semakin terasa besar bagi siswa selama masa pandemi, di antaranya Quipper, Zenius, Ruangguru, IndonesiaX, Cakap, dan masih banyak lagi.
Menilik Business Resilience Wheel yang dikeluarkan Grant Thornton Indonesia pada kuartal pertama tahun ini, disebutkan pula pentingnya opsi pendanaan sebagai salah satu strategi bertahan perusahaan di masa pandemi.
Hal ini sepertinya telah dijalankan dengan cukup baik oleh para pelaku EduTech, terlihat dari sejumlah investasi besar yang telah berhasil disuntikkan ke sektor ini dan menjadikan pandemi Covid-19 justru sebagai momentum akselerasi dan ajang pembuktian bahwa investasi tersebut dibenamkan pada sektor yang tepat.
"Dari sisi entitas EduTech juga perlu menjalankan strategi bertahan dengan melihat cara untuk menekan biaya, memberikan kualitas pengajar yang baik, dan hasil yang berdampak. Karena hal tersebut yang menjadi kunci untuk menentukan siapa pemenang dalam jangka panjang seiring pertumbuhan dan semakin matangnya pasar EduTech di Indonesia," tutup Kurniawan.