Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kontrak Pekerja Kian Longgar, Jaminan Kesehatan Sosial Harus Tetap Ada

Praktisi jaminan sosial dan Anggota Tim Perumus Rancangan Undang-Undang (UU) Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Odang Muchtar menjelaskan bahwa salah satu keresahan masyarakat terhadap UU Cipta Kerja yakni mengenai kepastian kerja, seiring longgarnya aturan untuk mempekerjakan karyawan kontrak dan outsourcing.
Karyawan beraktivitas di Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Jakarta, Rabu (13/5/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Karyawan beraktivitas di Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Jakarta, Rabu (13/5/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA — Komitmen pemberi kerja dan pemanfaatan teknologi digital dinilai menjadi kunci dalam menjaga keberlangsungan jaminan sosial kesehatan pasca disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja. Tanpa keduanya, proteksi kesehatan para pekerja dikhawatirkan dapat berkurang.

Praktisi jaminan sosial dan Anggota Tim Perumus Rancangan Undang-Undang (UU) Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Odang Muchtar menjelaskan bahwa salah satu keresahan masyarakat terhadap UU Cipta Kerja yakni mengenai kepastian kerja, seiring longgarnya aturan untuk mempekerjakan karyawan kontrak dan outsourcing.

Meskipun begitu, Odang menilai bahwa pada era industri 4.0 memang terdapat pergeseran tren status tenaga kerja secara global, yakni terus bertambahnya pekerja kontrak dan outsource dalam sejumlah sektor pekerjaan. Hal tersebut menurutnya banyak terjadi di negara-negara maju.

Dia mencontohkan bahwa Australia mencatatkan sekitar 30% karyawan dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dari seluruh tenaga kerjanya, kondisi serupa turut terjadi di Amerika Serikat. Hal itu pun dinilai sebagai keniscayaan bagi negara-negara lain, terlebih saat kondisi perekonomian tertekan akibat pandemi virus corona.

"Ada UU Cipta Kerja atau tidak, digitalisasi mengakibatkan tren pergeseran pekerja formal ke informal, bisa PKWT atau outsourcing. Sekarang bagaimana caranya pekerja yang terpaksa ada dalam kondisi itu harus tetap memiliki jaminan sosial, aktif sebagai peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial [BPJS] Kesehatan," ujar Odang kepada Bisnis, Rabu (7/10/2020).

Dia menilai bahwa UU Cipta Kerja memang belum mengatur mengenai kejelasan jaminan sosial bagi para pekerja saat status kontrak semakin diperlonggar. Hal tersebut harus tercantum dalam aturan turunan atau aturan teknis yang akan disusun kemudian.

Odang pun menekankan bahwa berbagai lapisan masyarakat, baik pekerja, akademisi, hingga pengamat harus memberikan masukan terkait kejelasan jaminan sosial para pekerja. Pemerintah pun harus mendengar aspirasi masyarakat tersebut karena jaminan sosial merupakan sesuatu yang fundamental.

"Justru harus dari sekarang kita menyampaikan aspirasi, jangan kemudian aturan teknisnya muncul," ujarnya.

Odang menilai bahwa dalam kondisi banyaknya pekerja berstatus kontrak atau outsource, diperlukan kesadaran dari pemberi kerja untuk mendaftarkan karyawannya ke jaminan sosial, baik BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan. Para pekerja pun harus aktif menuntut haknya itu.

Dalam kasus karyawan outsource, pemberi kerja utama harus memiliki kesadaran tinggi dalam memproteksi pekerjanya itu. Menurut Odang, saat ini pemberi kerja utama kerap abai memberikan jaminan sosial bagi pekerja outsource dan hanya fokus kepada pekerja perusahaannya saja.

"Padahal kalau pekerja punya majikan, baik itu outsource, atau bahkan di warung tegal [warteg] sekalipun, secara hukum dia berhak untuk mendapatkan jaminan sosial dari pemberi kerjanya," ujarnya.

Perusahaan penyedia karyawan outsource pun harus memastikan pemberi kerja utama akan memberikan proteksi jaminan sosial bagi pekerjanya. Hal tersebut penting agar apapun status pekerja, perlindungan kesehatannya dapat terus terjaga.

Menurut Odang, isu kepesertaan jaminan sosial kesehatan sudah menjadi sorotan sebelum UU Cipta Kerja berlaku dan dapat menjadi lebih serius setelahnya. Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan pemanfaatan teknologi yang baik jika jumlah karyawan kontrak dan outsource terus bertambah, salah satunya untuk pencatatan penghasilan mereka.

"Pemerintah harus membuat sistem bagaimana agar bisa mengetahui penghasilan dan perhitungan pekerja informal, kontrak, dan outsource. Misalnya ojek online, bagaimana agar penghasilan hariannya bisa tercatat dan dihitung [rata-rata penghasilan bulanannya] untuk memastikan besaran iurannya," ujar Odang.

Pemanfaatan teknologi itu menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah agar para pekerja, apapun statusnya, bisa mendapatkan jaminan sosial. Di tengah pandemi Covid-19 dan kondisi ekonomi yang tidak pasti, jaminan sosial menjadi salah satu jaring pengaman masyarakat agar tidak terjerumus dalam kesusahan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper