Bisnis.com, JAKARTA — Industri teknologi finansial atau fintech peer-to-peer lending akan segera diwajibkan untuk memiliki outstanding pinjaman minimal 25 persen di luar Jawa. Namun, hingga saat ini, pinjaman dari fintech masih terkonsentrasi di pulau dengan penduduk paling padat tersebut.
Kewajiban itu tercantum dalam draft Rencana Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (RPOJK) tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi. Pada pertengahan November 2020, otoritas meminta tanggapan atas draft tersebut kepada asosiasi terkait dan masyarakat umum.
Dalam Pasal 38 ayat (4), OJK mewajibkan penyelenggara fintech peer-to-peer (P2P) lending untuk menyalurkan pembiayaan ke luar Jawa, paling sedikit 25 persen dari total pendanaan yang belum dilunasi (outstanding) secara tahunan. Otoritas memberikan batas waktu hingga tiga tahun bagi perusahaan-perusahaan untuk mencapai batas minimal itu.
Adapun, berdasarkan Statistik Fintech OJK per September 2020, yang merupakan data terbaru dari otoritas, outstanding pinjaman tercatat mencapai Rp12,72 triliun. Dari jumlah tersebut, baru 15,95 persen di antaranya atau Rp2,03 triliun yang berada di luar Jawa, sedangkan selebihnya masih berputar di pulau tempat ibukota negara berada.
Artinya, industri fintech P2P harus meningkatkan outstanding pinjamannya minimal 9,05 persen dalam beberapa tahun ke depan. Jika RPOJK tersebut resmi dalam waktu dekat, maka industri harus melakukannya dalam tiga tahun ke depan.
Berdasarkan pengolahan data oleh Bisnis, hingga September 2020, outstanding pinjaman di Sumatra tercatat di posisi kedua setelah Jawa, yakni 8,33 persen terhadap total outstanding atau Rp1,05 triliun. Di posisi ketiga terdapat Sulawesi dan Maluku dengan porsi 3,52 persen terhadap total outstanding atau Rp447,27 miliar.
Setelah itu, terdapat Kalimantan dengan porsi 2,1 persen terhadap total outstanding atau Rp267,38 miliar, Bali dan Nusa Tenggara dengan porsi 1,83 persen (Rp232,91 miliar), dan terakhir adalah Papua dengan porsi 0,17 persen (Rp21,05 miliar).
Deputi Komisioner OJK Institute dan Keuangan Digital, Imansyah menjelaskan bahwa regulasi fintech terus bertambah untuk menghindari terjadinya regulatory arbitrage, yakni adanya aturan yang lebih ketat dibandingkan dengan lainnya di sektor jasa keuangan.
"Kami berharap kalau ada regulasi yang dikeluarkan, maka tujuannya adalah meminimalisir regulatory arbitrage di industri keuangan kita. Karena kita tahu, misalnya perbankan itu highly regulated, tapi di sisi lain ada yang bisnisnya mirip tapi punya regulasi yang lebih ringan. Jadi, konsep same activity same regulation itu masih kita diskusikan," ujar Imansyah pada Jumat (20/11/2020).