Bisnis.com, JAKARTA -- Industri perbankan perlu mewaspadai pemburukan aset portofolio kredit yang disalurkan melalui multifinance atau channeling di tengah kondisi pandemi.
Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani mengatakan kewaspadaan tersebut berkaitan dengan sejumlah multifinance yang tutup.
Meskipun enggan menyebut pasti nama perusahaan yang gulung tikar, tetapi Avaliani menggambarkan penutupan salah satu multifinance telah berdampak pada portofolio kredit bank, yang semula tidak masalah menjadi kategori macet.
"Jadi, yang perlu diwaspadai sekarang ada multifinance harus dilihat dampaknya pada bank karena sebagian besar bank ada kerja sama," katanya kepada Bisnis, Kamis (26/11/2020).
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan kondisi bisnis multifinance memang berpotensi mengancam kinerja perbankan.
Namun, sejauh ini ancaman tersebut bisa dikelola dengan baik oleh bank, yang terlihat dari rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) yang sejauh ini masih terjaga.
Menurutnya, di tengah penurunan masyarakat karena pandemi, menjadi suatu kewajaran jika penyaluran kredit termasuk melalui channeling mengalami perlambatan dan membuat tekanan kredit bermasalah meningkat.
"Kalau sudah pulih, bisnis channeling juga akan pulih, multifinance itu kan umumnya satu grup dengan banknya," katanya.
Apalagi, lanjutnya, channeling bukan merupakan strategi utama bank dalam menyalurkan kredit. Bank dinilai pasti akan berusaha memaksimalkan penyaluran kredit sembari mengurangi risiko.
"Channeling tetap akan tumbuh ketika pandemi sudah berakhir tetapi bukan strategi utamanya bank," sebutnya.