Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai terdapat tiga faktor, dari hulu hingga hilir, yang dapat membuat kepercayaan publik terhadap asuransi jiwa terus meningkat sehingga menopang pulihnya kinerja industri.
Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2A OJK Ahmad Nasrullah menjabarkan bahwa kinerja industri asuransi jiwa mengalami kontraksi cukup besar sebagai dampak pandemi Covid-19. Perlambatan terjadi baik dari sisi aset maupun premi.
Menurutnya, anjloknya kinerja investasi membuat industri asuransi jiwa yang didominasi oleh produk berbalut investasi, seperti unit-linked dan endowment mengalami gangguan kinerja. Tidak hanya itu, industri pun dibebani pengaruh dari masalah gagal bayar, seperti PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912.
"Ada beberapa perusahaan asuransi yang bisa dikatakan size-nya cukup besar mengalami kendala dalam pemenuhan kewajibannya. To some extense, ini berdampak juga terhadap industri, memengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi di Indonesia," ujar Nasrullah pada Kamis (10/12/2020).
Dia menilai bahwa adanya potensi pemulihan ekonomi pada 2021 harus menjadi momentum yang disambut oleh industri asuransi jiwa. Terdapat tiga hal yang harus dilakukan industri agar kepercayaan publik dan kinerja bisnis dapat kembali pulih pada tahun depan.
Pertama, menurut Nasrullah, asuransi jiwa harus memperhatikan kualitas penjualan dengan cara yang proper dan transparan. Aspek ini dinilai menjadi krusial karena merupakan pintu masuk nasabah ke asuransi, baik untuk mendapatkan proteksi atau disertai pengembangan investasi.
"Karena dari berbagai pengaduan yang kami terima hampir sebagian besar muaranya pada penutupan [polis] itu. Nasabah merasa tidak dijelaskan secara detil, merasa tidak paham betul isi polis, ketika tiba masanya mendapatkan manfaat ternyata tidak sesuai ekspektasi," ujarnya.
Kedua yakni pengelolaan aset yang baik. Nasrullah menekankan pentingnya perhitungan underwriting yang pas dan pengelolaan investasi yang berpegang pada kaidah-kaidah good corporate governance (GCG).
OJK kerap menemukan adanya perilaku excessive risk taking dari perusahaan asuransi, atau penempatan investasi yang berisiko tinggi. Tindakan itu kerap disertai pemberian jaminan imbal hasil investasi yang di luar kemampuan perusahaan.
"Kalau dilihat profit di-generate dari perolehan investasi, bukan dari underwriting, bahkan di beberapa perusahaan ada subsidi silang hasil underwriting oleh investasi. Yang ingin kami tekankan di sini pentingnya pengelolaan aset asuransi dalam hal investasi," ujar Nasrullah.
Ketiga, yang menurut Nasrullah adalah produk utama yang dijual asuransi, yakni pembayaran klaim. OJK meminta agar perusahaan-perusahaan asuransi membuat proses pembayaran klaim menjadi semudah mungkin, terlebih dalam kondisi pandemi Covid-19.
Permintaan itu bukan berarti seluruh klaim harus dibayarkan, tetapi semua klaim yang memenuhi syarat agar segera dibayarkan. Proses pembayaran klaim pun harus disertai peningkatan pelayanan, karena aduan nasabah seringkali muncul ketika proses pembayaran klaim.
"Yang penting lagi, kalau ada pengaduan tolong segera direspons dengan baik, supaya itu nanti tidak tereskalasi ke OJK, pihak-pihak lain. Ini juga akan menurunkan citra industri [asuransi jiwa], akan menurunkan kepercayaan kepada industri," ujar Nasrullah.