Bisnis.com, JAKARTA — Dugaan kerugian investasi di BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) menjadi kekhawatiran terbesar dalam tata kelola investasi dana publik. Sejalan koreksi tajam bursa saham pada 2020, potensi kerugian tersebut sempat mencapai Rp43 triliun.
Saat ini potensi kerugian (unrealized loss) berkurang menjadi sekitar Rp13 triliun. Kerugian ini menimbulkan pertanyaan sejauh mana keamanan dana para pekerja di badan tersebut.
Untuk menilai keamanan portofolio investasi, ada tiga aspek tata kelola investasi yang perlu dipertimbangkan, yaitu alokasi aset, kondisi fundamental instrumen, dan diversifikasi instrumen.
Dari aspek alokasi aset, investasi pada produk perbankan (giro, tabungan, dan deposito), obligasi (seperti surat berharga negara/SBN dan obligasi korporasi layak investasi), dan reksa dana dengan portofolio pasar uang dan obligasi merupakan investasi konservatif dengan risiko minimal.
Adapun investasi saham, reksa dana saham, dan investasi langsung dianggap investasi agresif yang kurang likuid dan berisiko tinggi. Secara umum, ada tiga kategori alokasi aset investasi, yaitu konservatif, moderat, dan agresif. Untuk masing-masing alokasi aset, porsi aset berisiko tinggi adalah maksimal 30 persen portofolio, kemudian 31 persen hingga 60 persen portofolio, dan di atas 60 persen portofolio.
Sesuai siaran pers BP Jamsostek, per akhir 2020 nilai portofolio investasi adalah Rp486,4 triliun dengan alokasi aset 64 persen pada surat utang, 17 persen di saham, 10 persen dalam deposito, 8 persen pada reksa dana, dan investasi langsung sebesar 1 persen.
Mayoritas investasi reksa dana yang dimiliki adalah reksa dana dengan portofolio saham. Jadi, porsi investasi BP Jamsostek terdiri dari 74 persen aset berisiko rendah (64 persen surat utang dan 10 persen deposito) dan 26 persen aset berisiko tinggi (17 persen saham ditambah 8 persen reksa dana ditambah 1 persen investasi langsung).
Dari alokasi surat utang, mayoritas di surat utang negara (baik konvensional dan sukuk) dan surat utang BUMN. Dari data 2018 untuk program jaminan hari tua (JHT), sebagai program terbesar BP Jamsostek, mayoritas (85%) investasi surat utang adalah SBN.
Peringkat surat utang korporasi yang dimiliki mayoritas (96,5 persen) sangat baik (AAA, AA+, AA, dan AA-). Hanya kurang dari 3,5 persen surat utang korporasi yang memiliki rating A, A-, dan BBB+, dengan semuanya dari emiten BUMN.
Perlu diperhatikan porsi deposito mencapai 48 persen pada 2006. Sejalan penurunan suku bunga, porsi deposito turun ke 31 persen pada 2011 dan menjadi 10 persen hingga 12 persen sejak 2017. Pada saat bersamaan, BP Jamsostek meningkatkan porsi investasi pada surat utang dari 36 persen pada 2006 menjadi 64 persen portofolio pada akhir 2020.
Ini indikasi upaya untuk meningkatkan imbal hasil investasi dengan sangat konservatif: hati-hati dan mengutamakan keamanan investasi. Jadi alokasi asetnya sangat konservatif dan berorientasi pada keamanan modal investasi (capital preservation) daripada untuk pertumbuhan investasi dari kenaikan harga-harga aset (capital appreciation).
Dugaan kerugian investasi bersumber dari investasi saham dan reksa dana saham. Untuk melihat risiko investasi berbasis saham, risiko fundamental dan risiko konsentrasi portofolio menjadi pertimbangan utama.
Nilai portofolio investasi saham langsung 2018 di program JHT, mayoritas (97 persen) adalah saham anggota Indeks LQ45. Anggota indeks LQ45 yang terpilih (26 saham) adalah saham-saham berkapitalisasi paling besar seperti PT Telkom, Astra Internasional, Bank BRI, Bank BCA, Bank Mandiri, Bank BNI, Perusahaan Gas Negara, Semen Indonesia, Indocement, Indofood, dan Unilever.
Saham yang di luar Indeks LQ45 merupakan saham yang pada periode sebelumnya anggota dari indeks yang sama seperti Astra Agro Lestari, London Sumatra, Summarecon, Waskita Beton atau saham BUMN besar (Garuda Indonesia, Krakatau Steel, dan PT Timah).
Risiko fundamental saham-saham tersebut sangat rendah, karena merupakan perusahaan yang pertumbuhan, profitabilitas, dan kekuatan keuangannya sangat baik. Apalagi saham-saham tersebut seperti PT Telkom, Astra Internasional, dan Bank BCA adalah perusahaan-perusahaan terbaik di Indonesia yang produknya mendominasi pasar.
Dari porsi terhadap portofolio saham saja, hanya PT Telkom dan Astra Internasional yang alokasinya mencapai 16,7 persen dan 14,5 persen. Selebihnya, porsi alokasi per emiten semuanya di bawah 8 persen portofolio saham. Misalnya , Bank BRI sekitar 7,1 persen portofolio saham.
Bila dilihat porsi per emiten terhadap total dana kelolaan Program JHT, porsi kepemilikan langsung saham PT Telkom dan Astra Internasional hanya 3,3 persen portofolio. Adapun Bank BRI, Bank Mandiri, dan Bank BNI, masing-masing alokasi investasi dalam portofolio tersebut sekitar 1,7 persen, 1,6 persen, dan 1,4 persen.
Meski risiko fundamental dan konsentrasi saham BP Jamsostek rendah tetapi inheren dari investasi saham adalah risiko volatilitas harga. Dalam tiga tahun terakhir, saham-saham pilihan utama BPJS TK, yaitu Astra Internasional, PT Telkom, Perusahaan Gas Nasional, Bank BNI, dan Unilever mengalami koreksi 20 persen hingga 40 persen.
Ironisnya, menyatakan investasi saham-saham BP Jamsostek sebagai hal jelek sama saja menyatakan perusahaan-perusahaan terbaik Indonesia adalah jelek. Sebuah kontradiksi yang tidak logis.
Melihat tata kelola investasi BP Jamsostek, dari alokasi aset dan underlying instrumen investasi, dan konsistensinya, kami meyakini tata kelola investasinya sangat bagus dan aman. Tata kelola investasi badan ini sangat berbeda dengan PT Jiwasraya, PT Asabri, atau kasus-kasus investasi dana BUMN lain yang pernah terjadi.
Untuk meningkatkan transparansi tata kelola, BP Jamsostek dan regulator (OJK) harus melaporkan secara berkala dan tepat waktu rangkuman portofolio utama, sehingga memudahkan seluruh stake holder memantaunya.
Semoga penyidikan oleh Kejaksaan Agung akan meningkatkan kualitas investasi BP Jamsostek di masa mendatang. Dan semoga semua lembaga pengawas publik (OJK, KPK, BPK, dan BPKP) dapat terus mengawal tata kelola investasi badan tersebut, sehingga keamanan dana publik terjaga.