Bisnis.com, JAKARTA - Pengaduan dari masyarakat kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap industri asuransi, didominasi ketidaksesuaian penjualan (mis-selling), terutama terkait produk asuransi yang dikaitkan investasi (PAYDI) atau unit-linked.
Kepala Departemen Perlindungan Konsumen OJK Agus Fajri Zam mencoba menjelaskan hasil pemantauan tematik terkait PAYDI terkait faktor-faktor yang berujung pengaduan konsumen dalam diskusi virtual bersama media dan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI).
"Secara umum, industri asuransi itu ada di peringkat kedua soal jumlah pengaduan, yang pertama perbankan. Namun, perbankan itu variasinya banyak, sedangkan kalau asuransi saya lihat yang jadi masalah itu-itu saja," ujar Agus, Rabu (14/4/2021).
Agus menjelaskan lebih lanjut bahwa periode 2020 yang notabene merupakan masa pandemi, tercatat menjadi tahun di mana pengaduan terkait PAYDI naik, yakni mencapai 593 layanan konsumen.
Pengaduan terkait PAYDI pada periode 2019 hanya 360 layanan. Sementara itu, sepanjang 2021 jumlah pengaduan konsumen ke OJK terkait PAYDI mencapai 273 layanan.
"Permasalahan dari pengaduan terbagi empat, terbanyak soal mis-selling. Selain itu, ada keberatan turunnya nilai investasi, permintaan pengembalian premi yang sudah dibayarkan secara penuh, dan kesulitan klaim," tambahnya.
Agus menilai pengaduan terkait PAYDI yang 'tidak variatif', sebenarnya terlihat jelas karena suatu permasalahan yang timbul, bisa disebabkan oleh berbagai faktor dan pelaku, mulai dari perusahaan, agen, atau bahkan masyarakat selaku nasabah itu sendiri.
Menurutnya, dari sisi nasabah, selain yang benar-benar terkena fraud, ternyata masih banyak yang belum memiliki pengetahuan atau belum memiliki awareness terkait risiko dari PAYDI.
"Maka, untuk pelaku usaha jasa keuangan asuransi, proses penawaran dan penjualan harus terdokumentasi dengan baik, ada rekamannya. Selain itu, perlu ada daftar blacklist agen nakal/fraud, karena kebanyakan pengaduan ke kami, biasanya si agen sudah hilang atau tidak bekerja lagi," jelasnya.
Sementara dari sisi perusahaan, kebanyakan masalah timbul akibat penawaran produk yang kurang memiliki transparansi. Misalnya, tidak mengungkap histori kinerja, menekankan kata tabungan agar dianggap tidak berisiko, atau menjamin kepastian bahwa nasabah bakal mendapat profit.
Agus pun menambahkan dari hasil pemetaan OJK, proses pemasaran menyerupai Multi Level Marketing (MLM) pun menjadi salah satu penyebab. Karena lebih menekankan bonus income, banyak agen tidak sertifikasi, dan sistem ini membuat kecenderungan agen tidak memberikan pemahaman kepada konsumen dengan baik.