Bisnis.com, JAKARTA — Desain sistem jaminan sosial nasional atau SJSN dinilai perlu ditinjau ulang seiring masih besarnya masalah kepesertaan, baik terkait jumlah peserta aktif maupun cakupan pekerja non formal. Sinergi data dua Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS menjadi kunci.
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dari unsur ahli Iene Muliati menjelaskan bahwa pihaknya telah melakukan monitoring dan evaluasi (monev) terhadap pelaksanaan jaminan sosial pada 2020. Dari proses itu, DJSN mencatat sejumlah poin evaluasi dan memetakan isu-isu strategis pelaksanaan jaminan sosial.
Berdasarkan pemetaan DJSN, isu kepesertaan masih menjadi sorotan di BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Misalnya, dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), kepesertaan masih didominasi oleh segmen penerima bantuan iuran (PBI) yang iurannya berasal dari kas negara dan masih banyak peserta mandiri berstatus non aktif.
Iene menjabarkan bahwa rasio peserta non aktif cenderung JKN meningkat setiap tahun. Kondisi itu semakin menantang pada 2020 karena terjadi pandemi Covid-19, tekanan ekonomi membuat banyak peserta yang tidak mampu atau tidak memilih untuk membayar iuran JKN, sehingga menjadi non aktif.
Di sisi jaminan sosial ketenagakerjaan, DJSN menemukan bahwa terjadi kecenderungan serupa, yakni tren peserta non aktif terus meningkat. Selain itu, tingkat kepesertaan masih minim dan sebaran peserta aktif pun belum merata.
"Bisa dilihat bahwa jumlah peserta banyaknya di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah. Di Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, itu cukup tinggi salah satunya karena faktor adanya kawasan industri sehingga peserta didaftarkan perusahaan," ujar Iene saat menjawab pertanyaan Bisnis dalam paparan monev DJSN, Rabu (5/5/2021).
Baca Juga
Pelaksanaan jaminan sosial ketenagakerjaan pun menghadapi tantangan nilai pembayaran klaim yang mendekati perolehan iuran, yakni karena pengajuan klaim meningkat tapi pendapatan iuran turun. Lebih rinci, terdapat kenaikan tren klaim jaminan hari tua (JHT) di angkatan kerja yang seharusnya masih produktif dan tidak menggunakan dana pensiunnya.
Menurut Iene, dampak besar dari pandemi Covid-19 tersebut membuat pemerintah perlu meninjau ulang desain SJSN. Bahkan, peninjauan itu dinilai harus diiringi reformasi perlindungan sosial, yang mencakup bantuan sosial, jaminan sosial, dan jaminan ketenagakerjaan.
"Perlu diatur dalam tatanan reformasi jaminan sosial, karena ini butuh reformasi sistemik, terlepas dari UU SJSN, karena sinerginya itu tidak mudah ya. Mengenai bantuan sosial yang terlibat ada 11 kementerian, bicara skill [ketenagakerjaan] ada 13 kementerian terlibat, juga jaminan sosial, ini ada harmonisasi dan sinergi kebijakan yang perlu dilakukan" ujarnya.
Iene menjelaskan bahwa langkah awal reformasi tersebut dapat dilakukan dengan melakukan sinkronisasi data BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Sinkronisasi itu menurutnya dapat memudahkan proses pendaftaran, pendataan, hingga pemberian manfaat, sehingga pada akhirnya masalah-masalah kepesertaan dapat teratasi dengan puasnya peserta terhadap program jaminan sosial.
Menurutnya, saat ini terdapat banyak variasi program persiapan hari tua, tapi kebijakannya belum komprehensif dan belum mengakomodir pekerja informal. Dalam skema pensiun, yang terdiri dari asuransi sosial, pesangon, dan dana pensiun sukarela, hanya sebagian yang dapat diikuti pekerja informal.
Akhirnya, pekerja informal kerap mengandalkan persiapan hari tua di luar program pensiun, seperti melalui tabungan, kepemillikan barang bersifat produktif, atau bahkan mengandalkan bantuan sosial. Menurut DJSN, kondisi tersebut harus dibenahi melalui reformasi jaminan sosial.
"Masalahnya yang kita ingin pastikan perlindungan kepada masyarakat, kepada pekerja, di situ entry point-nya bahwa perlu administrasi bisa sangat mudah dan bisa diakses. Dalam pelaksanaan SJSN, BPJS tidak bisa berdiri sendiri, perlu dukungan seluruh kementerian," ujar Iene.
Menurutnya, reformasi perlindungan sosial secara tidak langsung akan menyatukan bantuan sosial dan jaminan sosial, misalnya masyarakat penerima bantuan sosial akan terpantau sebagai peserta PBI JKN. Perlu upaya mendorong masyarakat pra kerja atau penerima bantuan agar bisa masuk ke dalam jaminan sosial.
"Arah ke depannya harus fokus kepada informal. Selama pandemi terbukti mereka yang sangat rentan dan belum terlindungi. Bukan hanya mendorong mereka suruh masuk, tapi kebijakannya harus memungkinkan mereka masuk," ujar Iene.