Bisnis.com, JAKARTA — BPJS Watch menilai bahwa optimalisasi pengelolaan investasi di instrumen lain dapat menjadi cara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Ketenagakerjaan untuk menjaga imbal hasil tanpa melakukan cut loss. Saham-saham prospektif bahkan bisa ditambah jumlahnya saat harga sedang turun atau diskon.
Hal tersebut disampaikan oleh Koordinator advokasi BPJS Watch Timboel Siregar kepada Bisnis, Kamis (24/6/2021) malam, menanggapi rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap BPJS Ketenagakerjaan untuk melakukan take profit atau cut loss saham-saham yang tidak diperdagangkan.
Timboel menjelaskan bahwa BPJS Ketenagakerjaan memang mengalami unrealized loss di instrumen investasi saham dan reksa dana. Kondisi itu pula yang membuat terjadinya penyidikan oleh Kejaksaan Agung, meskipun hingga saat ini belum terdapat hasil penyidikan yang disampaikan kepada publik.
Berdasarkan dokumen yang diperoleh Bisnis, pada Desember 2020 BPJS Ketenagakerjaan mencatatkan unrealized loss saham senilai Rp19,7 triliun dan reksa dana Rp5,4 triliun. Meskipun begitu, nilainya menurun pada pertengahan Januari 2021 seiring perbaikan kinerja indeks harga saham gabungan (IHSG), yakni unrealized loss saham menjadi Rp14,5 triliun dan reksa dana Rp2,7 triliun.
Timboel menjelaskan bahwa nilai unrealized loss itu dapat ditekan oleh positifnya perolehan investasi dari instrumen lain, seperti obligasi yang memberikan Rp2,86 triliun saat penutupan tahun buku 2020. Oleh karena itu, di tengah kondisi pasar modal yang masih bergejolak, menurutnya optimalisasi instrumen lain perlu dilakukan.
"Sekarang ini posisinya BPJS Ketenagakerjaan tidak transaksi saham, karena penyidikan di Kejaksaan Agung. BPJS ini instrumen investasinya memang itu-itu saja sesuai regulasi, paling nanti akan ditambah di sovereign wealth fund [SWF], tapi sebenarnya yang berpotensi memberikan imbal hasil tinggi itu saham dan reksa dana," ujar Timboel kepada Bisnis, Kamis (24/6/2021) malam.
Menurutnya, penempatan investasi di Lembaga Pengelola Investasi (LPI) selaku SWF Indonesia memang langkah baik, tetapi perlu diperhatikan berapa besar investasinya dan berapa lama manfaat itu akan kembali bagi peserta. Optimalisasi kinerja setiap instrumen pun perlu terus didorong.
Timboel menilai hal tersebut dapat dilakukan dengan melakukan kajian mendalam terhadap portofolio-portofolio yang ada saat ini. Selain itu, BPJS Ketenagakerjaan perlu menggunakan tenaga dari orang-orang yang mengerti pasar modal, baik dalam mengoptimalkan instrumen lain maupun menyusun strategi investasi saham dan reksa dana.
"Namun, menurut saya kunci pertama dari kondisi investasi BPJS Ketenagakerjaan ini adalah Kejaksaan Agung selesaikan dulu kasusnya. Unrealized loss adalah risiko bisnis, tidak menjadi pidana. Direksi sekarang pasti menunggu putusan Kejaksaan Agung untuk melakukan investasi," ujarnya.
Adapun, Timboel menilai bahwa BPK pasti memiliki landasan dalam merekomendasikan penjualan sejumlah saham millik BPJS Ketenagakerjaan. Meskipun begitu, menurutnya beberapa saham masih layak dikoleksi karena prospeknya.
Misalnya, dia menilai PT Salim Invomas Pratama Tbk. (SIMP), Astra Agro Lestari Tbk. (AALI), dan PT PP London Sumatera Indonesia Tbk. (LSIP) yang bergerak di sektor perkebunan masih dapat berkembang. Begitu pun PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. (KRAS) yang kinerja keuangannya menunjukkan pertumbuhan.
Lain halnya, Timboel menilai bahwa rekomendasi BPK untuk melakukan cut loss saham PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) dapat dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Hal tersebut karena kinerja saham emiten pelat merah tersebut terus menunjukkan penurunan, bahkan kini perdagangannya dihentikan Bursa Efek Indonesia (BEI).
"Seperti Garuda, menurut saya cut loss saja. Mudik enggak ada, haji enggak ada, sekarang dia lagi restrukturisasi utang dan jadi modal, kan artinya saham yang ada di sana akan terdelusi. Risiko orang nambah modal kan [persentase] saham akan berkurang, sehingga untuk Garuda menurut saya apa yang disampaikan BPK jalankan," ujar Timboel.
Meskipun begitu, menurutnya, langkah itu masih berpotensi menimbulkan masalah jika cut loss berubah menjadi kerugian negara. Oleh karena itu, pemerintah perlu menerbitkan payung hukum yang detil terkait ketentuan cut loss, agar tidak menimbulkan moral hazard.
Menurutnya, diperlukan aturan setingkat Peraturan Pemerintah (PP) agar BPJS Ketenagakerjaan dapat melakukan cut loss untuk mencegah timbulnya kerugian yang lebih besar. Aturan di tingkat atas perlu ada karena BPJS Ketenagakerjaan hanya badan pengelola dana, bukan pemilik dana, sehingga investasi harus memberikan manfaat bagi peserta.
"Kerugian yang timbul di BPJS Ketenagakerjaan adalah kerugian negara. Jadi tidak cukup dengan aturan tingkat direksi. Minimal setingkat PP. Cut loss harus dengan pertimbangan terukur," katanya.
SIFAT REKOMENDASI
Timboel menjelaskan bahwa sesuai mekanismenya, BPJS Ketenagakerjaan akan memberikan jawaban atas rekomendasi BPK tersebut. BPJS dapat memilih untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan rekomendasi tersebut sesuai alasan yang mereka miliki.
Menurutnya, rekomendasi itu dimunculkan BPK berdasarkan hasil pemeriksaan dan dinilai masih dapat diperbaiki oleh BPJS Ketenagakerjaan. Lain halnya, jika hasil pemeriksaan memiliki indikasi pidana, maka laporan yang ada akan disampaikan ke Kejaksaan Agung.
"Di sini perlu dilihat, ini kan usulan, misalnya ini rugi sehingga baiknya dipotong. Misalnya BPJS melihat KRAS masih akan dipegang karena ada prospek itu bisa, tapi misalnya Garuda tidak dijual lalu nanti terus turun, BPK bisa saja mengatakan bahwa sudah mengingatkan tapi kok tidak dijalankan," ujar Timboel.
Menurutnya, BPK masih on the track dalam menjalankan tugasnya, meskipun penyebutan enam emiten secara khusus mungkin menimbulkan pertanyaan.