Bisnis.com, JAKARTA – Bank Sentral Amerika Serikat (AS) bisa mulai menarik stimulus pada tahun ini seiring dengan pemulihan ekonomi di AS. Hal itu disampaikan oleh Ketua Federal Reserve (Fed) Jerome Powell, Jumat (27/8/2021).
Namun, dia mengatakan bank sentral tidak akan buru-buru dalam menaikkan suku bunga acuan walaupun adanya kenaikan tajam inflasi baru-baru ini.
Perekonomian AS, di satu sisi, telah bangkit kembali dengan kuat di 2021, setelah mengalami kontraksi yang dalam ketika terjadinya pandemi Covid-19. Meski begitu, Powell menyebut pihaknya tetap akan mengawasi dampak varian Delta yang kini tengah menyebar di AS.
“Kami sudah menyampaikan bahwa kami akan melanjutkan pembelian aset pada laju seperti sekarang ini sampai kami melihat adanya kemajuan secara substansial ke depan menuju tingkat pekerjaan maksimum serta stabilitas harga. Pandangan saya, kemajuan secara substansial ini sudah terlihat dari inflasi dan kemajuan yang terlihat jelas pada tingkat ketenagakerjaan maksimum,” ujar Powell pada pidatonya di Jackson Hole Economic Policy Symposium seperti dilansir BBC, Jumat (27/8/2021).
Dia lalu menyebut The Fed akan memulai pengurangan pembelian aset tahun ini seiring dengan mengawasi risiko dari Covid-19 yang terus berkembang.
Meski begitu, dia mengatakan kenaikan suku bunga acuan akan berdasarkan kembalinya perekomian ke tingkat ketenagakerjaan maksimum dan kembalinya inflasi ke 2 persen sesuai dengan target The Fed.
Baca Juga
“Kita masih punya banyak pekerjaan untuk mencapai tingkat ketenagakerjaan maksimum, dan hanya waktu yang akan menjawab kapan kita dapat mencapai inflasi 2 persen pada basis yang berkelanjutan,” tuturnya.
Adapun, kenaikan harga konsumen di AS melonjak 5,4 persen pada Juni 2021, tertinggi dalam 12 bulan dan sejak 2008. Sementara, tingkat pengangguran di AS adalah sebesar 5,4 persen, menurun secara tajam dari tahun lalu meskipun masih jauh dari level prapandemi.
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) sebelumnya menyampaikan bahwa akan mengantisipasi pengetatan kebijakan moneter AS dengan mengadakan pengujian daya tahan atau stress test. Hal itu berperan sebagai simulasi untuk menghadapi sinyal kebijakan yang kini sudah diamini oleh Bank Sentral AS.
“Kami sepakat akan mengadakan stress test, simulasi untuk mengantisipasi tapering tersebut dan juga peningkatan kasus varian Delta yang berpotensi menahan inflow ke negara emerging,” kata Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti pada rapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Rabu (25/8/2021).
Destry juga mengatakan bahwa pemulihan ekonomi global dibayangi risiko kebijakan pengurangan stimulus dengan normalisasi moneter di Amerika Serikat atau tappering off yang dilakukan The Fed.
Sepanjang tahun ini, kata Destry, data terbaru menujukkan inflow pasar keuangan domestik mencapai Rp21 triliun. Sepanjang bulan Agustus, angkanya Rp11,2 triliun.
“Jadi, sempat mereka keluar pada Juli, tetapi di Agustus, khususnya pasar obligasi terjadi inflow yang cukup besar,” jelasnya.
Pemulihan ekonomi global, tambah Destry tercermin pada indikator dini mulai dari purchasing managers index (PMI), keyakinan konsumen, dan penjualan eceran di Amerika Serikat, kawasan Eropa dan Cina yang tetap kuat.
Dengan perkembangan tersebut, perbaikan ekonomi global pada 2021 diperkirakan akan capai 5,8 persen dan berlanjut pada 2022 4,3 persen. Perdagangan dan harga komoditas dunia juga diperkirakan bakal menguat. Dengan begitu tetap mendukung tumbuhnya ekspor di negara berkembang.
“Ketidakpastian pasar keuangan global sedikit menurun sejalan dengan prospek perekonomian dunia yang membaik. Ini mendorong masuknya aliran modal global ke negara berkembang termasuk Indonesia dan mendukung penguatan mata uang di negara tersebut,” papar Destry.